REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Abad ke-9 hingga 13 dunia Islam ditandai dengan era perkembangan ilmiah, religius, filsafat, dan kebudayaan dalam skala serta kedalaman yang tertandingi sejarah. Setelah melesat bangkit dari jazirah Arab, kebudayaan Islam meliputi banyak agama dan budaya ke penjuru dunia.
Dalam buku Sejarah Islam yang Hilang karya Firas Al-Khateeb dijelaskan, pada masanya hanya melalui Islam-lah berbagai pemersatuan kebudayaan, tradisi, dan suku yang beragam itu bersatu. Hal ini kemudian menjadi cikal-bakal landasan untuk menciptakan zaman keemasan baru dalam penemuan ilmiah.
Mulai dari Arab, Spanyol (Eropa), hingga India. Tak ada tempat lain di dunia ini yang mampu memadukan begitu beragam orang dalam sebuah entitas agama yang dilengkapi dengan banyaknya intelektual lokal. Hasilnya, Islam mampu menghadirkan era yang tak hanya berperan sebagai jembatan antara pengetahuan kuno dengan renaisans Eropa, tetapi juga dapat menjadi fondasi bagi dunia ilmiah modern hingga saat ini.
Melalui Dinasti Abbasiyah, era kejayaan intelektual Islam berkembang. Menjelang awal tahun 800-an, kekuasaan dinasti ini mampu membentang dari Atlantik hingga Indus. Mereka memiliki ibu kota kelas dunia dengan satu juta penduduk di Baghdad. Masyarakatnya pun terdiri dari beragam suku, antara lain Yunanti, Koptik, Persia, dan India yang diadopsi aspek-aspek kebudayaan terbaiknya.
Inilah yang disebut sebagai periode pembukaan masyarakat ideal yang dijanjikan. Dalam pandangan Khalifah Al-Ma’mun (813-833 Masehi), masyarakat ideal masa depan hanya bisa diwujudkan mellaui ilmu pengetahuan dan rasionalisme. Maka untuk mencapainya, berbagai bidang pengetahuan yang ada di seluruh kerajaan pun harus dikumpulkan di satu lokasi yang terpusat. Dan ia meyakini bahwa para cendikiawan terbaik dari Islam berkumpul, maka akan terbukalah kemungkinan ilmu pengetahuan yang tak terbatas.
Dengan pemikiran itu, ia pun mendirikan institut pendidikan di Baghdad yang dikenal dengan nama Baitul Hikmah. Ruang lingkupnya bertentangan dengan definisi modern tentang yayasan pendidikan, dalam institusi Baitul Hikmah, universitas, perpustakaan, badan penerjemahan, serta laboratorium penelitian ada dalam satu kampus.
Dukungan penuh dalam memperoleh ilmu pengetahuan pun diberikan kerajaan kepada para ilmuan. Misalnya, jika seorang cendikiawan dapat menerjemahkan buku apapun dari bahasa asli ke bahasa Arab, maka ia akan mendapatkan emas seberat buku itu. Maka dengan cara ini pun, cendikiawan terkenal dari kalangan Muslim maupun non-Muslim di seluruh dunia berkumpul di Baghdad sebagai bagian dari proyek Khalifah Al-Ma’mun.
Maka untuk kali pertama dalam sejarah, kelompok terbaik dari tanah Persia, Mesir, India, dan bekas Bizantium dapat dipertemukan untuk memajukan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi seluruh dunia.
Pada masa pra-Islam, tidak ada alasan bagi ilmuwan di Aleksandria untuk pergi ke Ctesiphon untuk belajar-mengajar. Kalaupun berpergian, hambatan bahasa akan menghalangi mereka mendapatkan manfaat penuh dari Persia. Maka melalui Abbasiyah, bahasa Arab dijadikan bahasa perantara yang dapat menyatukan orang-orang dari berbagai latar belakang berbeda.
Tak peduli apakah orang itu asli Berber, Suriah, atau Persia sekalipun.
Maka dengan itu, bahasa Arab tidak sekadar menjadi bahasa liturgi, tetapi juga bahasa ilmuwah untuk berkomunikasi dan melakukan penelitian.
Hingga pada abad ke-10, Paus Sylvester II menjadi salah satu orang Eropa pertama yang mendukung untuk mempelajari matematika yang dikembangkan cendikiawan Muslim setelah ia menghabiskan waktu belajar di Spanyol dan Afrika Utara Islam.