REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Penelitian terbaru menyebutkan manusia berperan dalam kepunahan yang dialami oleh spesies burung gajah di Madagaskar. Spesies asli Madagaskar yang punah 1.500 tahun lalu, burung gajah, diketahui sempat selamat dari bencana kekeringan sebelumnya.
Namun demikian, satwa liar raksasa itu akhirnya punah juga. Menurut penelitian terbaru, satwa itu punah bukan hanya karena kurangnya makanan dan kekeringan. Manusia juga berperan dalam hilangnya satwa itu.
Kerangka burung gajah yang mirip dengan burung unta itu, diketahui sempat hidup berdampingan dengan manusia, lemur raksasa dan kuda nil kerdil di Madagaskar ribuan tahun lalu. Penemuan dari para peneliti menyebut, perubahan iklim saat itu tidak menjadi faktor utama punahnya burung gajah tersebut.
“Manusia adalah jerami yang mematahkan punggung burung gajah”, kata Elizabeth Pennisi untuk Science dilansir dari smithsonianmag, Rabu (21/10).
Dalam penelitan itu, tim yang dipimpin oleh Hanying Li dari Universitas Xi'an Jiaotong di Cina, melakukan perjalanan ke Rodrigues (sebuah pulau kecil terpencil di timur Madagaskar). Mereka mengumpulkan sejarah iklim kawasan itu.
Penjelajahan dilakukan di gua-gua pulau tersebut bertujuan untuk menganalisis konsentrasi oksigen, karbon, dan unsur jejak lainnya dalam endapan mineral seperti stalaktit dan stalagmit.
Tim tersebut merekonstruksi garis waktu iklim di Samudra Hindia barat daya, khususnya Madagaskar, Rodrigues, dan pulau lain bernama Mauritius yang berusia delapan ribu tahun. Temuan mereka dipublikasikan pekan lalu di jurnal Science Advances.
Berdasarkan analisis dari endapan gua, ada hasil jika wilayah itu mengalami serangkaian kemarau panjang yang berlangsung selama beberapa dekade. Musim kering terakhir terjadi sekitar 1.500 tahun yang lalu. Itu adalah periode waktu ketika semua spesies megafauna punah.
Namun, satwa liar Madagaskar, termasuk burung gajah diketahui selamat dari kekeringan yang lebih parah sebelumnya. Atas dasar itu para ilmuwan mengatakan, iklim kering tidak mungkin memusnahkan mereka.
Sebaliknya, catatan arkeologi menunjukkan bahwa kehadiran manusia meningkat sekitar waktu itu. Kehadiran manusia merusak habitat itu menyebabkan penyakit, kebakaran, dan pertanian. Pemicu stres tersebut, ditambah dengan kemarau panjang, yang akhirnya mengakhiri megafauna Madagaskar.
"Meskipun kami tidak dapat mengatakan dengan 100 persen kepastian apakah aktivitas manusia, seperti perburuan berlebihan atau perusakan habitat, adalah termasuk pepatah jerami yang mematahkan punggung unta, catatan paleoklimat kami membuat kasus yang kuat bahwa megafauna telah bertahan melalui semua kondisi sebelumnya bahkan lebih besar. kekeringan," kata Ashish Sinha, ahli geokimia di California State University, Dominguez Hills.