REPUBLIKA.CO.ID, Pada 26 Juni 2015, secara resmi Amerika Serikat mengesahkan perkawinan sesama jenis, mengikuti jejak 20 negara lain sebelumnya. Perjalanan legalisasi perkawinan sejenis (same-sex marriage), di Amerika Serikat terbilang sangat cepat.
Pada 2004, Massachusetts menjadi negara bagian pertama yang mengesahkan perkawinan sejenis. Tak lama kemudian, pada 2013, untuk pertama kalinya, Katedral Nasional Amerika Serikat melaksanakan perkawinan sejenis (https://www.cathedral.org/press/PR-60QF1-3I0018.shtml). Awal Juni 2015, pun baru sekitar 30 negara bagian di Amerika Serikat yang melegalkan perkawinan sejenis.
Apa yang menimpa Gereja Katolik dalam kasus LGBT di sejumlah negara, khususnya di Amerika Serikat, patut menjadi bahan renungan serius bagi bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim. Sebab, Amerika Serikat selama ratusan tahun dikenal sebagai bangsa yang cukup religius.
Sebuah buku berjudul What Americans Believe: An Annual Survey of Values and Religious Views in the United States (California: Regal Books, 1991), memberikan gambaran tingkat religiusitas rakyat AS yang masih lumayan.
Terhadap pertanyaan, "apakah kepercayaan Kristen masih relevan dengan jalan hidup anda", sebanyak 47 persen rakyat Amerika Serikat menjawab "sangat setuju". Bahkan, jauh sebelumnya, bangsa Amerika Serikat menegaskan identitasnya sebagai sebuah "bangsa Kristen".
Pada 1811, Mahkamah Agung AS menegaskan: "We are a Christian people." Itu ditegaskan lagi oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat pada 1892, dengan menyatakan: "This is a Christian Nation." (Lihat, Samuel P. Huntington, Who Are We? The Challenges to America's National Identity (New York: Simon&Schuster, 2004).
Bagaimana bangsa Amerika Serikat bisa diubah persepsinya sampai melegalkan perkawinan sejenis? Inilah jawabannya! Pada 22 Mei 2013, wakil presiden AS Joe Biden memberikan pujian kepada tokoh-tokoh Yahudi yang telah berjasa dalam mengubah persepsi bangsa Amerika Serikat tentang perkawinan sejenis. Harian Israel, Haaretz menulis sebuah berita berjudul "Biden: Jewish leaders drove gay marriage changes". Dikatakan, bahwa, "Vice President Joe Biden is praising Jewish leaders for helping change American attitudes about gay marriage and other issues."
Kajian-kajian tentang dominasi peran Yahudi di Amerika Serikat sangat melimpah. Prof Norman Cantor, dalam bukunya, The Sacred Chain, menyebutkan bahwa pada 1994, jumlah Yahudi di Amerika Serikat hanya tiga persen dari populasi bangsa Amerika Serikat. Tetapi, pengaruh mereka setara dengan kekuatan 20 persen penduduk Amerika Serikat. Bahkan, Prof Cantor menulis, "Jews were over represented in the learned professions by a factor of five or six."
Kemampuan dan dominasi Yahudi dalam pembentukan opini di Amerika Serikat tidak diragukan lagi. Kekuatan kaum Yahudi Amerika Serikat adalah dalam pembentukan opini. Eugene Fisher, Direktur Catholic-Jewish Relations, menyatakan, "If there is Jewish power, it's the power of the word, the power of Jewish columnist and Jewish opinion makers." (Dikutip dari buku The New Jerusalem: Zionist Power in America karya Michael Collins Piper, Washington, DC: American Free Press, 2004).
Laman http://www.timesofisrael.com (4/3/2016), masih memampang satu judul berita "US Jews among the most supportive of gay marriage". Disebutkan bahwa kaum Yahudi Amerika merupakan komunitas tertinggi yang memberikan dukungan terhadap legalisasi perkawinan sejenis (perkawinan homo dan lesbi) di AS.
Itulah hasil survei "Pew Research Center for the People and the Press." Menurut hasil survei yang dilakukan dalam rentang 2012-2013, sebanyak 76 persen Yahudi Amerika Serikat mendukung pengesahan (legalisasi) perkawinan sesama jenis, sedangkan 18 persen menentang, dan delapan persen tidak menyatakan sikapnya. Jumlah itu jauh lebih besar dibandingkan pemeluk Protestan (34 persen) dan pemeluk Katolik (53 persen).
Tidak mengherankan jika pakar psikologi Amerika Serikat, Prof Kevin McDonald, dalam bukunya The Culture of Critique, menyimpulkan bahwa gerakan intelektual abad ke-20,- yang sebagian besar didirikan dan dipimpin orang-orang Yahudi, "have changed European societies in fundamental ways and destroyed the confidence of Western man."
*Naskah ini dikutip dari Harian Republika, karya Dr Adian Husaini yang tayang pada 2018