REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berharap Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan putusan yang dapat memberikan efek jera kepada terpidana korupsi. Hal itu diungkapkan berkenaan dengan upaya Peninjauan Kembali (PK) terpidana Fredrich Yunadi ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
Fredrich Yunadi merupakan terpidana kasus perintangan penyidikan KPK atas Setya Novanto dalam kasus korupsi proyek KTP-el. "Kami berharap MA dapat mempertimbangkan harapan publik agar adanya putusan majelis hakim yang memberikan efek jera terhadap para pelaku korupsi," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri di Jakarta, Rabu (21/10).
Ali mengatakan, KPK memahami, pengajuan PK merupakan hal setiap terpidana. Dia melanjutkan, Jaksa KPK nanti juga akan memberikan pendapat terkait dalil dan alasan yang diajukan oleh pemohon PK.
Dia menilai tidak ada kecacatan dalam putusan majelis hakim tindak pidana korupsi (Tipikor) tingkat pertama sampai dengan kasasi. Pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi yamg diajukan advokat itu dan menggenapkan hukumannya menjadi 7,5 tahun penjara dan denda sebesar Rp 500 juta subsider 8 bulan kurungan.
Dalam putusan itu, dia melanjutkan, majelis hakim telah mempertimbangkan fakta-fakta dan alat bukti yang ada. "Sehingga KPK meyakini tidak ada kekhilafan, kekeliruan yang nyata dan pertentangan dalam pertimbangan putusan tersebut," katanya.
Frederich Yunadi mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Takdir Suhan membenarkan hal tersebut.
"Kami akan menghadiri persidangannya, dijadwalkan pada Jumat (23/10) lusa, " kata Takdir kepada Republika, Rabu (21/10).
Fredrich Yunadi sebagai pengacara mantan ketua DPR Setya Novanto dinilai terbukti memberikan saran agar Setya Novanto tidak perlu datang memenuhi panggilan penyidik KPK dengan alasan untuk proses pemanggilan terhadap anggota DPR harus ada izin dari Presiden. Selain itu ia juga melakukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK).