Rabu 21 Oct 2020 21:11 WIB

Satu Tahun Jokowi-Ma'ruf: Pemajuan dan Penegakan HAM Stagnan

Komnas HAM memberikan enam catatan evalusi kerja Jokowi-Ma'ruf di bidang HAM.

Presiden Joko Widodo (kiri) berbincang dengan Wakil Presiden Ma'ruf Amin.
Foto: Akbar Nugroho Gumay/ANTARA FOTO
Presiden Joko Widodo (kiri) berbincang dengan Wakil Presiden Ma'ruf Amin.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah, Dessy Suciati Saputri

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengevaluasi kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin, khususnya yang berkaitan dengan isu hak asasi manusia (HAM). Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan, satu tahun pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin terkait pemajuan dan penegakan HAM cenderung stagnan.

Baca Juga

"Kami secara umum menyimpulkan ada situasi stagnan di dalam pemajuan dan penegakan HAM, kata Taufan dalam Konfrensi Pers secara daring, Rabu (21/10).

Taufan mengungkapkan dalam pandangan Komnas HAM, berbagai agenda pemajuan dan penegakan HAM yang menjadi kewajiban dari negara, belum mendapatkan prioritas sehingga mengalami stagnasi. Pertama, terkait pelanggaran HAM berat, Komnas HAM menilai komitmen pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam menuntaskan 12 peristiwa pelanggaran HAM yang berat, sampai saat ini masih mengalami stagnasi.

"Padahal Menko Polhukam Mahfud MD dalam berbagai kesempatan menyatakan bahwa dirinya diberikan mandat khusus oleh Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan stagnasi atas berbagai peristiwa pelanggaran HAM yang berat," kata Taufan.

Sehingga, stagnasi tersebut menjadi beban dan utang negara sehingga menjadi catatan buruk di dunia internasional. Terlebih, Indonesia adalah salah satu anggota Dewan HAM dan Dewan Keamanan PBB yang seharusnya memberikan contoh nyata dalam penegakan hukum dan HAM.

Kedua, masih adanya pelanggaran HAM dalam konflik agraria. Taufan mengungkapkan, konflik agraria menjadi salah satu kasus yang paling banyak diadukan ke Komnas HAM RI.

"Hal ini menujukkan bahwa konflik agraria terus terjadi, meluas dan dengan eskalasi yang semakin meningkat," ucapnya.

Konflik agraria diprediksi akan meningkat eskalasinya dengan adanya omnibus law UU Cipta Kerja yang telah disahkan dalam Sidang Paripurna DPR RI pada 5 Oktober 2020. Berdasarkan kajian Komnas HAM RI, UU Cipta Kerja berpotensi untuk memicu dan memperluas konflik agraria oleh karena kemudahan bagi investor dan negara dalam memperoleh tanah untuk proyek strategis nasional dan mekanisme penyusunan Amdal yang tidak membuka partisipasi publik secara luas, hanya dibatasi untuk masyarakat terdampak langsung.

"Keberadaan bank tanah di dalam RUU Cipta Kerja juga tidak menjamin bahwa konflik agraria akan mereda, oleh karena hanya mengatur pendistribusian, padahal akar konflik agraria adalah ketimpangan penguasaan lahan dan ketidakadilan akses atas sumber daya agraria, " tutur Taufan.

Ketiga, masih adanya intoleransi, radikalisme, dan ekstrimisme dengan kekerasan. Tindakan masyarakat maupun aparatur negara berupa sikap dan atau tindakan yang intoleran masih terjadi.

"Seperti penghalangan dalam mendirikan rumah ibadah Gereja Baptis Indonesia Tlogo Sari di Semarang, berhasil dimediasi oleh Komnas HAM RI. Penyegelan atas makam leluhur masyarakat adat AKUR Sunda Wiwitan di Kabupaten Kuningan, menimbulkan polemik hingga saat ini, meskipun segel tersebut telah dibuka oleh aparat setempat. Padahal, masyarakat adat AKUR sudah eksis sejak lebih dari seratus tahun dan hidup selaras dengan perkembangan jaman, " ujar Taufan.

Hal ini, lanjut Taufan, menunjukkan belum adanya penyelesaian yang utuh dan terstruktur terhadap permasalahan intoleransi. Berbagai insiden tersebut pun menunjukkan bahwa potensi intoleransi bisa muncul dan berkembang oleh karena kurangnya toleransi dan penghargaan atas keberagaman, termasuk bagi masyarakat minoritas dan adat.

"Terhadap berbagai konflik yang terjadi, Negara wajib segera mengambil langkah-langkah penyelesaian," tegas Taufan.

Keempat, akses atas keadilan yang masih sulit. Berdasarkan data pengaduan ke Komnas HAM RI periode Januari sampai September 2020, tercatat sebanyak 1.925 kasus aduan masyarakat.

Dari aduan sebanyak itu, aduan terbanyak terkait dengan pelanggaran hak atas kesejahteraan sebanyak 745 kasus, hak atas keadilan sebanyak 673 kasus, dan hak atas rasa aman sebanyak 128 kasus. Catatan kelima terkait kekerasan oleh aparat negara dan masyarakat.

Penggunaan kekerasan oleh aparat negara juga masih kerap terjadi. Penggunaan aparat banyak dilibatkan dalam konflik-konflik terkait dengan pengamanan, maupun sengketa sumber daya alam.

Permasalahan penggunaan kekuatan berlebih dan penggunaan kekerasan saat upaya paksa seperti penangkapan, pemeriksaan hingga penahanan juga masih kerap diadukan. Komnas HAM, tegas Taufan, tidak mentolerir segala bentuk kekerasan baik oleh aparat negara maupun masyarakat, karena tidak mencerminkan prinsip negara hukum dan prinsip hak asasi manusia.

"Komnas HAM mendorong siapa pun yang melakukan tindakan kekerasan supaya ditindak sesuai dengan ketentuan hukum yang adil, objektif, dan transparan," katanya.

Catatan keenam, terkait kebebasan berpendapat dan berekspresi. Taufan mengatakan, secara khusus Komnas HAM memberikan perhatian atas tindakan negara khususnya Polri dan Kementerian Kominfo dalam menyikapi aksi dan respons berbagai kelompok masyarakat (pelajar, mahasiswa, buruh, aktivis ormas, aktivis LSM, dll) atas polemik pembentukan dan pengesahan RUU Cipta Kerja, maupun dalam ranah kebebasan berpendapat dan berekspresi yang lainnya di dunia digital.

Berdasarkan catatan, lebih dari 5.198 orang ditangkap oleh kepolisian dalam rentang waktu sejak ada unjuk rasa pada 5 Oktober 2020. Selain itu, menurut catatan Tim Advokasi Demokrasi, terdapat sekitar 207 orang yang semula diduga ditangkap dan ditahan, belum diketahui keberadaannya.

"Untuk itu, penyelenggara Negara khususnya Polri dan Kementerian Kominfo agar menghormati hak konstitusional setiap warga masyarakat untuk berkumpul, berpendapat, dan berekspresi sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD RI 1945 dan Pasal 19 ayat (2) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, " tegas Taufan.

Pada hari ini, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menegaskan pemerintah akan merespons dengan baik berbagai masukan dari seluruh kalangan termasuk masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Pemerintah, kata dia, tak akan menutup diri, menutup mata, maupun menutup telinga atas masukan dan usulan-usulan yang disampaikan.

“Pemerintah sangat respons terhadap berbagai masukan, kita tidak menutup diri tidak menutup mata, tidak menutup telinga. Jadi masukan-masukan tersebut diperlukan karena sejatinya membangun sebuah negara ini,” kata Moeldoko kepada wartawan di kantornya, Rabu (21/10).

Apalagi di tengah situasi pandemi saat ini, Moeldoko menekankan pentingnya kerja sama seluruh pihak baik pemerintah maupun masyarakat.

“Di tengah-tengah lingkungan yang tidak seperti biasanya, maka yang diperlukan adalah bagaimana semuanya bergandengan tangan,” ucapnya.

Terkait berbagai masukan yang disampaikan kepada pemerintah, ia mengatakan pemerintah memang tak bisa bekerja secara sempurna. Namun, pemerintah akan terus melakukan perbaikan.  

Ia pun meminta agar di situasi sulit saat ini, masyarakat tak mempersulit diri sendiri. Dengan bekerja sama, Moeldoko yakin persoalan yang dihadapi dapat diselesaikan dengan baik.

“Semuanya memahami bahwa situasi saat ini adalah situasi sulit tidak mudah, jangan kita mempersulit diri. Justru dengan bekerja sama berbagai pihak, dan pemerintah mendengarkan maka persoalan yang kita hadapi bersama ini pasti bisa diselesaikan dengan baik,” jelasnya.

photo
Tiga kekalahan jokowi atas gugatan rakyat - (Data Republika)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement