Kamis 22 Oct 2020 06:27 WIB

Merahasiakan Pernikahan, Bagaimana Hukumnya?

Para ulama berbeda pendapat tentang perlu tidaknya menyiarkan pernikahan.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Ani Nursalikah
Merahasiakan Pernikahan, Bagaimana Hukumnya?
Foto: ANTARA/Didik Suhartono
Merahasiakan Pernikahan, Bagaimana Hukumnya?

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah pernikahan lazimnya disiarkan kepada khalayak ramai. Namun demikian, para ulama berbeda pendapat tentang perlu tidaknya menyiarkan pernikahan.

Dalam buku Nikah Siri karya Vivi Kurniawati dijelaskan, berdasarkan mayoritas ulama (jumhur) hukum, mengumumkan pernikahan bukanlah bagian dari syarat, rukun, atau kewajiban sebuah akad pernikahan. Hukum mengumumkan pernikahan adalah mustahab (boleh namun kadarnya lebih disukai).

Baca Juga

Disunnahkan agar nikah akad nikah dapat diumumkan kepada publik dan tidak dirahasiakan. Dasarnya adalah hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Tirmidzi: “A’linuu hadza an-nikaaha waj’aluhu fil-masaajidi wadhribuhu alaihi bi ad-dhufufi,”. Yang artinya: “Umumkanlah pernikahan ini, jadikan tempatnya di dalam masjid dan pukulkan atasnya duff (rebana-rebana),”.

Di antara hikmah dari diumumkannya akad nikah adalah agar pasangan terbebas dari tuduhan zina atau fitnah yang keji. Serta selain itu, dapat mendapatkan keberkahan serta doa dari masyarakat.

Bagian dari bentuk mengumumkan pernikahan, yaitu dengan menyelenggarakan acara walimah (undangan makan/hajatan). Dalam istilah fikih, walimah berarti makanan yang khusus disediakan ketika pernikahan atau resepsi pernikahan.

Adapun ulama seperti Imam Az-Zuhri berpendapat mengumumkan pernikahan adalah suatu yang fardhu. Sehingga menurut pendapat ini, meskipun sebuah pernikahan sudah terpenuhi syarat dan rukunnya, tetapi kalau tidak diumumkan maka pernikahan itu dipisahkan. Begitu juga bila dua orang saksinya ikut merahasiakan kepada khalayak ramai, maka pernikahan itu harus dipisahkan.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
سَيَقُوْلُ الْمُخَلَّفُوْنَ اِذَا انْطَلَقْتُمْ اِلٰى مَغَانِمَ لِتَأْخُذُوْهَا ذَرُوْنَا نَتَّبِعْكُمْ ۚ يُرِيْدُوْنَ اَنْ يُّبَدِّلُوْا كَلٰمَ اللّٰهِ ۗ قُلْ لَّنْ تَتَّبِعُوْنَا كَذٰلِكُمْ قَالَ اللّٰهُ مِنْ قَبْلُ ۖفَسَيَقُوْلُوْنَ بَلْ تَحْسُدُوْنَنَا ۗ بَلْ كَانُوْا لَا يَفْقَهُوْنَ اِلَّا قَلِيْلًا
Apabila kamu berangkat untuk mengambil barang rampasan, orang-orang Badui yang tertinggal itu akan berkata, “Biarkanlah kami mengikuti kamu.” Mereka hendak mengubah janji Allah. Katakanlah, “Kamu sekali-kali tidak (boleh) mengikuti kami. Demikianlah yang telah ditetapkan Allah sejak semula.” Maka mereka akan berkata, “Sebenarnya kamu dengki kepada kami.” Padahal mereka tidak mengerti melainkan sedikit sekali.

(QS. Al-Fath ayat 15)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement