REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Apakah perlu kita belajar pada era kolonial kala menghadapi wabah? Ketika soal ini ditanyakan kepada Sejarawan dan Dosen Peradaban Islam UIN Jakarta, DR Imas Emalia, dia mengatakan sangat perlu. Bahkan, sema harus belajar pada peninggalan kearifan masyarakat dan sikap pemerintah kolonial kala menghadapi pandemi itu.
‘’ Ingat ungkapan Fernand Braudel dalam Civilization an Capitalism 15th-18th Century (1988), bahwa wabah penyakit di manapun dapat mempengaruhi demografi, peradaban manusia, dan perekonomian negara. Jadi tak hanya Covid-19, berbagai pandemi lain yang pernah ada misalnya wabah flu Spanyol juga sangat menyulitkan kehidupan. Dan kita harus belajar pada catatan sejarah di era itu,’’ kata Imas, di Jakarta, Rabu (21/10).
Imas yang baru saja membukukan disertasinya yang bertajuk ‘Wabah Penyakit & Penangannya Di Cirebon 1906-1944’ mengatakan, pada waktu terjadi atau meledak sebuah wabah maka pemerintah dan rakyat harus bahu membahu. Pemerintah harus cermat dan tegas dalam mengatasi situasi, rakyat pun harus mentaati himbaunya.
“Kalau masa kini di era pandemi Covid-19 ada seruan pemakaian masker misalnya, di zaman flu Spanyol pada tahu 1920 pun begitu. Banyak sekali data dan foto pada masa itu yang memperlihatkan bila masyarakat pun menggunakannya untuk mencegah penyebaran. Jadi pemakaian masker dan protokol kesehatan lain juga bukan hal baru dalam sejarah masyarakat Indonesia,’’ katanya.
Salah satu pelajaran dari sejarah dalam menangi wabah itu antara lain ketika pemerintah kolonial Belanda mengatasi merebaknya wabah malaria di Cirebon. Kala itu, kabar tentang nama penyakit ‘yellow fever’ baru menyebar di wilayah Hindia Belanda di akhir abad ke-19. Laporan pemerintah, yaitu Kolonial Verslag tahun 1883-1884 menyebutkan adanya kasus penyakit itu dan mewabah di masyarakat. Laporan itu menyebut penyakit ‘yellow fever’ adalah malaria seperti hasil penelitian di Amerika tersebut.
“Di Cirebon, penyakit malaria menyerang penduduk pada tahun 1882. Dalam laporan pemerintah itu, tercatat sejumlah 3.900 orang penderita malaria meninggal dunia di bulan Januari 1882. Dalam hitungan lima bulan, jumlah penderita meningkat tinggi. Yaitu di bulan Mei 1882 jumlah penderita malaria menjadi 10.919 orang. Wabah malaria terutama menyerang para buruh yang tinggal di lingkungan yang kumuh dan berawa,’’ katanya.
Kondisi itu pun memang terjadi di beberapa daerah di Jawa, seperti Batavia, Semarang, Probolinggo, Besuki, dan Banyumas. Namun, dalam Kolonial Verslag tahun 1883-1884 disebutkan bahwa daerah Cirebon merupakan daerah kasus malaria yang tertinggi dibanding daerah-daerah tersebut.
“Dugaan pemerintah kota Cirebon, daerah yang banyak berkembang bibit malaria di Cirebon adalah daerah-daerah yang dipenuhi rawa-rawa di sekitar pantai dan pinggir sungai,’’urai Imas Emilia lagi.
Bila berdasar pada laporan di atas, pengetahuan tentang malaria bukanlah hal yang asing bagi pemerintah kota Cirebon saat itu. Laporan itu pun menyebutkan bahwa penyakit ‘yellow fever’ atau malaria disebabkan udara yang kotor, lembab, dan basah sebagai dampak dari lingkungan yang kotor.
Namun anehnya, tegas Imas, sampai pertengahan abad ke-20, kepada media massa, pemerintah kota Cirebon selalu menyebut penyakit malaria sebagai ‘penyakit yang tidak dikenal’.
“Rupanya, dari informasi koran Bataviaasch Nieuwsblad (1915) dapat dipahami alasan-alasan pemerintah mengatakan demikian, di antaranya; Pertama; pemerintah tidak ingin disebut sebagai penyebab kemunculan wabah malaria di kota,” ungkapnya.
Akibatnya, setelah pemerintah mengizinkan proyek penggalian tanah di tahun 1912, untuk perusahaan kereta api Semarang-Cirebon dan Cirebon-Cikampek-Batavia, lokasi sekitar proyek itu menjadi kotor dan berlumpur. Daerah Kejaksan sebagai pusat pemerintahan menjadi daerah terparah terpapar wabah malaria.
Namun pemerintah bersikap apatis atas kejadian ini. Para buruh di proyek itu tetap wajib kerja sekalipun sakit. Para peneliti yang dikirim ke Cirebon memprotes pemerintah agar menghentikan proyek itu selama wabah malaria belum teratasi. Kala itu pemerintah beralasan bahwa tidak pernah tahu tentang penyakit itu. “Maka pemerintah kolonial tetap mengizinkan pelaksanaan proyek penggalian tanah demi mempercepat proyek pembuatan rel kereta api yang akan memperlancar distribusi hasil perkebunan dan olahannya ke kota.”
Bukan hanya itu, kata Imas, pada faktor yang kedua; pemerintah lepas tangan atas kasus para buruh yang terserang demam, diare berdarah disertai muntah darah, bahkan pendarahan di sekitar pori-pori tubuhnya. Pemerintah beranggapan kalau mengurus buruh sakit adalah bukan tanggungjawabnya.
“Buruh yang sakit malaria dipandang pemerintah sebagai kesalahannya sendiri karena tidak dapat memelihara kebersihan lingkungannya,” katanya.
Pemerintah kolonial Belanda juga merasa kalau penyakit malaria di daerah iklim tropis adalah penyakit yang aneh karena tidak pernah terjadi di Eropa. Para dokter peneliti pun menyebut penyakit itu sebagai ‘penyakit tak dikenal’, sekalipun beberapa koran Eropa di tahun itu telah menyebut penyakit malaria. Oleh karena itu para buruh tetap dituntut wajib kerja sekalipun mereka sakit.
Kenyataan ini bertentangan dengan temuan Dokter Spaarwoude Wermesinger, yang ditugaskan Dinas Kesehatan Kota Cirebon untuk memeriksa pasien-pasien penderita malaria. Mereka mengalami demam yang tidak turun dalam waktu 5 hari. Namun, para pasien meninggal pada hari kelima sakitnya.
“Dokter Spaarwoude Wermesinger pun menyebutkan kalau para pasien ini menderita malaria. Kebanyakan pasien malaria adalah para buruh yang tinggal di lingkungan yang padat dan kumuh,’’ tegasnya.
Akhirnya, Imas menandaskan apa yang terjadi di Cirebon kala terjadi wabah Malaria harus menjadi pelajaran bagi warga dan pemerintah saat ini. Dalam soal pencegahan misalnya, kala itu warga —andai punya pengetahuan dan kesadaran akan wabah malaria — mereka sebenarnya sudah dapat mendeteksinya sebelum masa 10 hari. Ini misalnya dikenali dan diatasi dengan cepat sebelum terjadi pendarahan pada pasien.
Namun sikap apatis pemerintah dan ketidaktahuan masyarakat membuat wabah malaria berakhir secara cepat. Dan ini jelas merupakan tragedi bagi kemanusiaan.
“Jadi antara Covid-19 yang kini mengharuskan pakai masker, cuci tangan, jaga jarak dengan sikap menjaga kebersihan lingkungan sama saja dengan peristiwa di masa lalu. Pada wabah malaria di Cirebon pada awal 1900-an misalnya, bila masyarakat paham pentingnya hidup dan lingkungan yang sehat atau misalnya bila dirinya merasa ada gejala demam yang aneh, maka risiko penyakit Malaria sebenarya bisa diatasi. Pelajaran sejarah penting lainnya adalah adanya kerja sama antara pemerintah dan rakyat hal mutlak agar bisa menghentikan penyebarannya sebuah pandemi,’’ kata Dr Imas Emilia menandaskan.