Kamis 22 Oct 2020 14:10 WIB

Peringatan Komnas HAM, YLBHI, Amnesty ke Polri Terkait KAMI

Polri diminta terapkan prinsip fair trial terhadap aktivis KAMI.

Bareskrim Polri mengungkap 9 orang yang terafiliasi dengan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang dijadikan tersangka diduga terkait kerusuhan unjuk rasa menolak Undang-undang Omnibus Law Ciptakerja, dirilis di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (15/10).
Foto: Mabes Polri
Bareskrim Polri mengungkap 9 orang yang terafiliasi dengan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang dijadikan tersangka diduga terkait kerusuhan unjuk rasa menolak Undang-undang Omnibus Law Ciptakerja, dirilis di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (15/10).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah, Haura Hafizhah, Ronggo Astungkoro, Arif Satrio Nugroho, Ali Mansur

Penangkapan dan proses hukum sejumlah aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) terkait demo menolak UU Cipta Kerja yang berujung rusuh disoroti berbagai pihak. Percobaan penangkapan terhadap Ketua Komite Eksekutif KAMI Ahmad Yani bahkan dinilai sebagai kriminalisasi hukum.

Baca Juga

"Soal aktivis KAMI yang ditahan, Komnas HAM meminta Polri benar-benar menggunakan prinsip fair trial," kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik kepada Republika, Rabu (21/10).

Taufan mengatakan, mesti ada delik hukum yang dilanggar dengan bukti yang kuat dalam memproses para aktivis KAMI. Prosesnya pun, lanjut Taufan, harus akuntabel.

"Tersangka tetap memiliki hak untuk didampingi pengacara serta hak asasi lainnya," tegas Taufan.

Sebelumya, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai, penangkapan anggota dan pimpinan KAMI dilakukan untuk menebar ketakutan. Usman meminta negara menghentikan upaya intimidasi terhadap warga negaranya.

“Penangkapan ini dilakukan untuk menyebar ketakutan di antara mereka yang mengkritik pengesahan Undang-Undang Omnibus Cipta Kerja," ujar Usman lewat keterangan pers kepada Republika, Selasa (13/10).

Di sisi lain, kata dia, penangkapan itu menunjukkan sedang terancamnya kebebasan berekspresi di negara ini. Selain itu, langkah tersebut juga ia nilai dapat dilihat sebagai upaya untuk mengintimidasi oposisi dan mereka yang mengkritik rezim yang sedang berkuasa.

Usman juga menyebut, penangkapan tiga orang pimpinan KAMI dengan dugaan pelanggaran UU ITE sangat mengkhawatirkan. Negara, kata dia, harus menghentikan segala bentuk intimidasi terhadap pihak yang mengkritik dan memastikan penghormatan penuh terhadap hak asasi manusia bagi siapa saja, termasuk pihak oposisi.

“Justru dengan langkah ini, Presiden Jokowi telah melanggar janjinya sendiri untuk melindungi hak asasi manusia. Pihak berwenang harus segera membebaskan ketiganya, yang dijerat hanya karena mempraktikkan kebebasan berbicara, dengan tanpa syarat,” jelas dia.

Sebelumnya, polisi telah menangkap delapan tokoh KAMI di Medan dan Jabodetabek. Mereka ditangkap atas dugaan penghasutan demo menolak UU Cipta Kerja yang berujung kerusuhan.

Terakhir, Ahmad Yani yang menjabat Komite Eksekutif KAMI juga mengatakan sempat ada upaya penangkapan terhadap dirinya pada Senin (19/10). Upaya penangkapan Ahmad Yani disebut terkait dengan pemeriksaan tokoh KAMI lain yang ditangkap, Anton Permana.

"Iya benar seperti itu (ada percobaan penangkapan). Saya ada di kantor dan saya saya tanya apa dasarnya perbuatan melanggar hukum apa yang saya lakukan," kata Ahmad Yani.

Namun, menurut Ahmad Yani, petugas kepolisian tak bisa menjelaskan alasan upaya penangkapan terhadapnya. Ia pun dengan tegas menolak ditangkap.

"Saya minta (polisi) menjelaskan apa dasar penangkapan saya, dan mereka polisi tidak bisa jawab," kata Ahmad Yani.

Namun, Polri telah membantah melakukan upaya penangkapan terhadap Ahmad Yani. Polri mengeklaim, datangnya para penyidik Bareskrim anggota Polri ke kantor Ahmad Yani di Matraman, Jakarta Pusat pada Senin (19/10) malam sekadar komunikasi.

"Enggak ada, kita baru datang dengan komunikasi ngobrol-ngobrol aja. Jadi ngobrol-ngobrol yang bersangkutan bersedia sendiri untuk hari ini hadir ke Bareskrim," kata Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Argo Yuwono, Selasa (20/10).

Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai, upaya penangkapan yang dilakukan kepolisian terhadap Ahmad Yani merupakan kriminalisasi hukum. Sebab, polisi berupaya menangkap tanpa dasar hukum yang jelas.

"Kalau lihat kronologinya Ahmad Yani yang tidak jadi ditangkap itu bisa disebut sebagai kriminalisasi hukum. Kriminalisasi hukum yaitu penegakan hukum yang digunakan bukan untuk tegaknya hukum tapi hal-hal yang lain," katanya saat dihubungi Republika, Rabu (21/10).

Menurut Asfinawati, sebenarnya penangkapan sewenang-wenang seperti yang dialami Ahmad Yani inilah yang sering dialami para buruh, petani, masyarakat adat, mahasiswa, pelajar dan perempuan selama ini.

Penangkapan sewenang-wenang ini terjadi karena kurangnya pengawasan eksternal dan internal. Lalu, lemahnya sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan penyidik.

"Dengan begitu, perlu ada lembaga pengawas eksternal selain Presiden yang harus menjalankan wewenangnya karena tidak ada menteri membawahi polisi," kata dia.

photo
Deklarator Koalisi Aksi Masyarakat Indonesia (KAMI) Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, dan Anton Permana diborgol. - (@SaveMoslem1)

Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun juga mempertanyakan penangkapan sejumlah aktivis KAMI oleh polisi. Pria yang juga salah satu deklarator KAMI Itu menyebut penangkapan aktivis KAMI adalah upaya pembunuhan karakter.

"Masalahnya adalah apakah penangkapan aktivis kami ini sudah berkoordinasi dengan Istana atau tidak. Rasanya publik tidak mungkin percaya kalau itu murni penegakkan hukum, murni cyber patrol misalnya karena terlihat betul nuansa untuk melakukan pembunuhan karakter KAMI," ujar Refly dalam video dalam akun Youtube-nya, dikutip Republika.co.id, Rabu (21/10).

Refly mengingatkan, KAMI adalah organisasi yang berisi kumpulan orang, bergerak dengan ide, opini dan pemikiran. Refly mengakui, ada beberapa orang yang menyampaikan kritis keras pada pemerintah.

Refly mempertanyakan bagaimana KAMI kemudian diperlakukan seperti organisasi terlarang. Beberapa waktu lalu, sejumlah aktivis KAMI dipertontonkan dalam konferensi pers dengan pakaian tahanan disertai borgol.

"Seperti organisasi terlarang saja. Organisasi yang dinyatakan terlarang saja tidak pernah ditangkap," gurau Refly.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divhumas Polri Brigadir Jenderal Polisi Awi Setiyono membantah terkait adanya perlakuan berbeda terhadap para tersangka. Ia mengeklaim, pihaknya memperlakukan semua tersangka dengan perlakuan yang sama. Tidak terkecuali antara tersangka kasus korupsi dengan aktivis KAMI yang diduga melanggar Undang-undang Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

"Selama ini kami sampaikan sama kan tidak ada perbedaan dengan tersangka-tersangka lain," tegas  Awi beberapa waktu lalu.

photo
Pelanggaran UU ITE - (republika/mgrol100)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement