REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Koordinator Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020-2024, Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS tampil sebagai nara sumber pada Ekspose Program dan Kegiatan Mitra Itjen KKP Tahun 2020 dan 2021 yang diadakan oleh Inspektorat Jenderal-Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Sentul, Bogor, Jawa Barat, Kamis (22 /10).
Pada kesempatan tersebut, Prof Rokhmin memaparkan sejumlah permasalahan dan tantangan pembangunan kelautan dan perikanan. Antara lain, sebagian besar usaha perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, dan perdagangan hasil perikanan dilakukan secara tradisional dan berskala Usaha Kecil dan Mikro (UKM). Sehingga, tingkat pemanfaatan sumber daya ikan (SDI), produktivitas, dan efisiensi usaha perikanan pada umumnya rendah. “Akibatnya, kontribusi bagi perekonomian (PDB, nilai ekspor, pajak, PNBP, dan PAD) juga rendah,” kata Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB itu seperti dikutip dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Selain itu, Prof Rokhmin menambahkan, ukuran unit usaha (bisnis) perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, dan perdagangan hasil perikanan sebagian besar tidak memenuhi skala ekonomi (economy of scale). Sehingga, keuntungan bersih (pendapatan) lebih kecil dari 300 dolar AS (Rp 4,5 juta)/orang/bulan alias miskin.
Di samping itu, sebagian besar usaha perikanan belum dikelola dengan menerapkan Sistem Manajamen Rantai Pasok Terpadu (Integrated Supply Chain Management System), yang meliputi subsistem produksi, industri pasca panen dan pemasaran. “Sehingga, kurang (tidak ada) kepastian harga jual, pasokan dan harga kurang stabil, dan risiko usaha menjadi tinggi,” ujarnya.
Permasalahan dan tangtangan lainnya, kata dia, adalah industri bioteknologi perairan, jasa-jasa kelautan, dan SDK non-konvensional masih belum berkembang (underutilized). “Karena cuaca buruk atau musim paceklik ikan, pada umumnya nelayan sekitar empat bulan tidak melaut, dan menganggur (tidak ada pekerjaan lain). Akibatnya, banyak yang terjerat utang kepada rentenir dengan bunga sangat tinggi, sampai 60 persen,” kata Rokhmin yang juga ketua umum Masyarakat Akuakultur Indonesia.
Rokhmin juga menyoroti posisi nelayan dan pembudidaya ikan dalam sistem tata niaga sangat tidak diuntungkan. Ketika membeli sarana produksi, harganya jauh lebih mahal ketimbang harga di pabrik. Sebaliknya, pada saat mereka menjual ikan hasil tangkapan atau budidaya, harganya jauh lebih murah dari pada harga di konsumen (pasar) terakhir. Ini karena banyakanya pedagang perantara (panjangnya rantai tata niaga), dan mereka mengambil untung besar.
“Pada umumnya pemukiman nelayan kurang higienis dan sehat, sehingga para nelayan dan keluarganya rentan terhadap penyakit (ISPA, kulit, dan waterborbe dieases). Selain itu, pada umumnya asupan gizi makanan keluarga nelayan kurang sehat dan kurang berimbang, terlalu banyak nasi dan ikan, tetapi sangat kurang buah dan sayuran,” tuturrya.
Rokhmin juga menyebutkan, kebanyakan nelayan kurang mampu mengelola keuangan keluarga secara bijaksana (“lebih besar pasak dari pada tihang”). “Terjadi overfishing di beberapa wilayah perairan, sedangkan di sejumlah wilayah perairan lain mengalami underfishing,” ujar Rokhmin yang juga ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara).
Ia juga mengemukakan rendahnya akses nelayan dan pembudidaya ikan kepada sumber pemodalan (kredit bank), teknologi, infrastruktur, informasi, dan aset ekonomi produktif lainnya. Sementara itu, kualitas SDM (knowledge, skills, dan etos kerja) nelayan dan pembudidaya ikan pada umumnya masih relatif rendah. “Hal yang juga masih menjadi permasalahan dan tantangan pembangunan kelautan dan perikanan adalah kebijakan politik ekonomi (moneter, fiskal, RTRW, iklim investasi, dan kemudahan berbisnis) kurang kondusif,” paparnya.
Rokhmin kemudian membedah 10 program dan proyek untuk memajukan bidang kelautan dan perikanan. Termasuk di dalamnya adalah peta jalan pembangunan kelautan dan perikanan menuju Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia; pembangunan perikanan tangkap yang menyejahterakan dan berkelanjutan; dan pembangunan perikanan budidaya yang produktif, efisien, berdaya saing, menyejahterakan dan berkelanjutan.
Kemudian, pembangunan industri pengolahan hasil perikanan dan pemasaran; pembangunan industri bioteknologi perairan; pembangunan industri SDA non-konvensional dan jasa kelautan; pembangunan karantina ikan, sistem jaminan mutu dan keamanan produk perikanan; pengelolaan lingkungan wilayah ekosistem PUD, pesisir, pulau kecil, dan lautan; penguatan dan pengembangan kapasitas pengawasan SDKP; serta pembangunan sistem informasi, inovasi Ipteks dan SDM.
“Mengingat pembangunan kemaritiman (Indonesia Poros Maritim Dunia), terutama sektor kelautan dan perikanan merupakan kebijakan pembangunan prioritas Pemerintahan Presiden Jokowi, dan APBN KKP pada 2001 – 2004 mencapai 1/3 APBN Kementan; maka dengan usulan rencana program dan proyek seperti diuraikan di atas, harusnya APBN KKP 2021 bisa sebesar 1/3 APBN Kementan (Rp 20 triliun), dan APBN KKP 2024 mencapai ½ APBN Kementan,” kata Prof Rokhmin Dahuri.