REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG – Kejadian ditemukannya zat radioaktif oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) di lahan kosong perumahan Batan Indah, Kecamatan Setu, Tangerang Selatan, menjadi pelajaran penting dalam penanganan radiasi nuklir. Kepala Bapeten, Jazi Eko Istiyanto mengungkapkan, untuk mengetahui lebih banyak penemuan zat radioaktif di tengah masyarakat, diperlukan alat detektor nuklir yang lebih memadai.
“Kita dihebohkan dengan penemuan lokasi paparan radiasi di luar kewajaran. Bapeten melakukan pemantauan dengan detektor mobile dengan sensitivitas tinggi. Penemuan kasus ini membuktikan bahwa detektor nuklir berkompeten dalam rangka mendukung fungsi pengawasan,” tutur Jazi di Tangerang Selatan, Kamis (22/10).
Menurut penuturanya, radiasi memiliki karakteristik yang sulit dideteksi oleh manusia, padahal sangat berbahaya bagi manusia itu sendiri. Artinya, memang dibutuhkan alat pendeteksi yang memadai untuk bisa melacak keberadaan zat radioaktif yang ada di tempat yang tidak sewajarnya, seperti di pemukiman warga.
“Radiasi tidak dapat dilihat, dicium, dirasa, maka detektor sangat krusial dalam pengawasan nuklir,” tegasnya. Dia menyebut pemakaian detektor sangat penting ditaruh di banyak tempat untuk bisa mendeteksi adanya zat radioaktif secara real time. Jika demikian, penanganannya pun bisa lebih cepat dilakukan.
Hal senada disampaikan oleh Menteri Riset dan Teknologi (Menristek), Bambang Brodjonegoro untuk menambah alat deteksi radiasi nuklir guna mengintensifkan pemantauan radiasi di lingkungan. “Kami juga sudah meminta kepada Bapeten kalau perlu menambah peralatan untuk melakukan monitoring karena ternyata dengan keberadaan peralatan tersebut itulah kita bisa mendeteksi adanya kandungan radioaktif pada waktu itu di Perumahan Batan Indah,” jelasnya.
Bambang menuturkan, dengan keterbatasan alat yang dimiliki, memang tidak bisa mendeteksi seluruh wilayah di Indonesia, minimal di Jabodetabek. Namun, dia berharap ke depan dapat dilakukan peningkatan pemantauan dan pengawasan nuklir radiasi di berbagai wilayah di Nusantara, yakni dengan menambah alat deteksi.
Diketahui, paparan radiasi yang di luar batas normal berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan masyarakat sehingga perlu pemantauan untuk menemukan lokasi keberadaan paparan radiasi dan ditindaklanjuti dengan upaya dekontaminasi. Alat deteksi itu menjadi makin krusial mengingat radiasi tidak dapat dilihat, dicium, dan dirasakan.
“Menurut saya ini malah lebih berbahaya daripada ancaman-ancaman lain yang mungkin timbul untuk suatu wilayah perkotaan, mungkin kalau saya ibaratkan radiasi ini mirip Covid-19, sama, kita tidak tahu virusnya ada dimana, sebesar apa, tahu-tahu kita terpapar ya setelah melalui testing,” terang Bambang.