REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dessy Suciati Saputri, Nawir Arsyad Akbar
Kementerian Sekretariat Negara (Kemensesneg) melakukan perbaikan naskah UU Cipta Kerja (Ciptaker) yang telah disampaikan DPR kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurut, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, sebelum UU Ciptaker disampaikan ke Presiden untuk diundangkan, Kemensesneg melakukan formatting dan pengecekan teknis terhadap naskah UU terlebih dahulu.
“Sebelum disampaikan kepada Presiden, setiap naskah RUU dilakukan formatting dan pengecekan teknis terlebih dahulu oleh Kementerian Sekretariat Negara agar siap untuk diundangkan,” jelas Pratikno kepada wartawan, Kamis (22/10).
Ia mengatakan, setiap item perbaikan teknis seperti kesalahan penulisan atau typo dilakukan atas persetujuan dari DPR. Hal ini, kata dia, dibuktikan dari paraf Ketua Baleg.
Pratikno pun menegaskan, substansi naskah UU Cipta Kerja dalam format yang disiapkan Kemensesneg sebanyak 1.187 halaman sama dengan naskah UU Cipta Kerja yang disampaikan oleh DPR kepada Presiden. Naskah UU Cipta Kerja dengan format 1.187 halaman sebelumnya juga sudah diserahkan Pratikno ke pimpinan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
“Substansi RUU Cipta Kerja dalam format yang disiapkan Kemensetneg (1.187 halaman) sama dengan naskah RUU Cipta Kerja yang disampaikan oleh DPR kepada Presiden,” ucapnya.
Meski Pratikno menyatakan pihaknya hanya melakukan perubahan format, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, Kemensesneg mengajukan perbaikan dalam naskah UU Cipta Kerja. Salah satunya adalah Pasal 46 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang seharusnya dihapus dari undang-undang sapu jagat itu.
“Itu benar, kebetulan Setneg yang temukan. Jadi itu seharusnya memang dihapus, karena itu terkait dengan tugas BPH (Badan Pengatur Hilir) Migas,” ujar Supratman saat dihubungi, Kamis (22/10).
Supratman menjelaskan, awalnya adalah keinginan pemerintah untuk mengusulkan pengalihan kewenangan penetapan toll fee dari BPH Migas ke Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Pasal 46 yang sebelumnya berisi empat ayat kemudian ditambahkan satu ayat lagi untuk mengakomodasi keinginan pemerintah. Tetapi, keinginan tersebut tak disetujui oleh Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja sehingga diputuskan kembali ke UU existing.
Namun, pasal tersebut ternyata masih ada dalam naskah UU Cipta Kerja berjumlah 812 halaman yang dikirim oleh Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar. Baleg DPR, kata Supratman, juga telah memastikan bahwa pasal tersebut seharusnya dihapus.
“Itu benar seharusnya tidak ada, karena seharusnya dihapus. Karena kembali ke undang-undang existing, jadi tidak ada di UU Cipta Kerja,” ujar Supratman.
Politikus Partai Gerindra itu menegaskan, bahwa perubahan sama sekali tak mengubah substansi yang telah disetujui di tingkat Panja. Termasuk dihapusnya Pasal 46 UU 22/2001, sebab di tingkat Panja hal itu memang seharusnya dihapus.
“Jadi itu kan soal penempatan saja dan koreksi, tidak mengubah isi sama sekali,” tegas Supratman.
Sebelumnya, anggota Baleg DPR Mulyanto mengungkapkan, Kemensesneg mengajukan revisi UU Cipta Kerja sebanyak 88 halaman dan 158 item. Hal tersebut dilakukan pada dua hari usai Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar menyerahkan naskah UU yang berjumlah 812 halaman, ke pihak Istana.
Namun, ia mengaku tak mengetahui apa yang direvisi oleh Kemensesneg. Sebab, Panja Baleg UU Cipta Kerja telah dibubarkan usai pengesahan yang dilakukan dalam rapat paripurna pada 5 Oktober 2020.
“Perbaikan draf RUU Cipta Kerja sebanyak 158 item dalam 88 halaman berdasarkan recall tanggal 16 Oktober 2020,” ujar Mulyanto.
Diketahui, draf final RUU Cipta Kerja yang diserahkan kepada pemerintah berjumlah 812 halaman. Sebelum draf final tersebut diserahkan kepada presiden, beredar banyak naskah yang bervariasi jumlah halamannya.
Mulai dari 1.028 halaman, 905 halaman, 1.052 halaman, dan 1.035 halaman. Terbaru, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Muhammadiyah mengaku menerima naskah Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang berjumlah 1.187 halaman.