REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Surplus neraca perdagangan yang dialami Indonesia dinilai bukan hanya efek dari adanya pandemi Covid-19. Menurut ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal, surplus terjadi karena Kementerian Perdagangan gencar mendorong kinerja ekspor.
Pada September 2020, neraca dagang surplus sebesar 2,44 miliar dolar AS. Secara kumulatif, neraca perdagangan Indonesia pada Januari–September 2020 surplus 13,51 miliar dolar AS. Surplus tersebut bahkan telah melampaui surplus neraca perdagangan tahun 2017 yang mencapai 11,84 miliar dolar AS yang merupakan nilai surplus tertinggi dalam lima tahun terakhir (2015–2019).
Fithra menilai, surplus dagang bisa menjadi sinyal membaiknya perekonomian nasional. Menurut dia, peningkatan surplus perdagangan yang disebabkan surplus nonmigas menjadi 2,91 miliar dolar AS tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan hasil dari kinerja dan berbagai program yang dibuat para menteri terkait.
"Kalau dibilang prestasi, ini adalah prestasi utama dari pemerintahan Jokowi karena neraca dagang surplus. Mungkin ada peran pandemi yang membuat tren impor melemah. Tetapi kalau kita lihat, tren impor bahan baku dan barang modal secara bulanan menunjukan tanda-tanda perbaikan," kata dia, Kamis (22/10).
Dia menambahkan, nilai ekspor September yang mencapai 14,01 miliar dolar AS ini terjadi karena solidnya kenaikan indeks manajer pembelian (Purchasing Managers Index/ PMI) Indonesia. Ia mengatakan, kenaikan PMI secara gradual turut meningkatkan kinerja perdagangan.
Kenaikan PMI terjadi karena ada intervensi nonfiskal berupa relaksasi impor bahan baku dan barang modal yang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan sejak April lalu.
Pada September lalu, nilai ekspor meningkat 7 persen dibandingkan bulan sebelumnya (MoM). Peningkatan didorong adanya kenaikan ekspor migas (17,4 persen MoM) maupun nonmigas (6,5 persen MoM). Sementara, nilai impor tercatat sebesar 11,6 miliar dolar AS atau naik 7,7 persen dibandingkan Agustus 2020.