REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Lucius Karus mengatakan, bahwa proses pengajuan revisi oleh Kementerian Sekretariat Negara (Kemensesneg) usai Undang-Undang Cipta Kerja disahkan DPR, merupakan tanda bahwa regulasi tersebut 'abal-abal'. Mulai dari substansi dan proses pembahasan hingga pengesahannya.
"Sebenarnya (Pasal 46) sudah ditolak saat proses pembahasan, tetapi nyatanya masih ada di naskah sesungguhnya mengkonfirmasi bahwa naskah RUU Ciptaker ini abal-abal," ujar Lucius, Jumat (23/10).
Ia melihat, ada upaya penyelundupan pasal yang dilakukan oleh DPR atau pemerintah. Sebab, tidak mungkin pasal yang seharusnya dihapus di tingkat panitia kerja (Panja) Badan Legislasi (Baleg) tiba-tiba ada di naskah final UU Cipta Kerja berjumlah 812 halaman.
"Itu mungkin saja bukan buah dari keteledoran berupa kelupaaan mencoret ketentuan yang sudah tak disetujui pada rapat kerja. Bisa jadi pasal Ini merupakan pasal selundupan," ujar Lucius.
Ia mendorong adanya pertanggung jawaban hukum dan politik atas masalah ini. Khususnya DPR, yang harus memberi penjelasan terkait banyaknya naskah hingga proses revisi UU Cipta Kerja.
"Saya melihat ada potensi kejahatan di balik kekacauan naskah dan berikut isi UU Ciptaker ini sebagaimana terungkap melalui penghapusan pasal oleh Setneg ini," ujar Lucius.
Sebelumnya, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, Kementerian Sekretariat Negara memang mengajukan perbaikan dalam naskah Undang-Undang Cipta Kerja. Salah satunya adalah Pasal 46 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang seharusnya dihapus dari undang-undang sapu jagat itu.
Ia menjelaskan, awalnya itu adalah keinginan pemerintah untuk mengusulkan pengalihan kewenangan penetapan toll fee dari BPH Migas ke Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Tetapi, keinginan tersebut tak disetujui oleh Panja RUU Cipta Kerja.
Namun dalam naskah yang tertulis, pasal tersebut masih ada dalam draf UU Cipta Kerja berjumlah 812 halaman yang dikirim oleh Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar. Baleg, kata Supratman, juga telah memastikan bahwa pasal tersebut seharusnya dihapus.
“Itu benar seharusnya tidak ada, karena seharusnya dihapus. Karena kembali ke undang-undang eksisting, jadi tidak ada di UU Cipta Kerja,” ujar Supratman.
Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Dini Purwono, hari ini menjelaskan, bahwa Pasal 46 yang mengetur mengenai kewenangan BPH Migas tersebut memang seharusnya tidak ada dalam naskah final. Alasannya, rapat Panitia Kerja Badan Legislasi (Panja Baleg) DPR telah memutuskan untuk mengembalikan pasal tersebut ke aturan UU existing.
"Yang tidak boleh diubah itu substansinya," ujar Dini kepada wartawan, Jumat (23/10).
Dini menambahkan, penghapusan yang dilakukan Kemensesneg bersifat administratif atau memperbaiki typo. Justru menurutnya, tindakan Kemensesneg mengoreksi naskah final membuat substansi UU Cipta Kerja kembali sesuai dengan apa yang disepakati dalam rapat panja Baleg DPR.
"Setneg, dalam hal ini justru melakukan tugasnya dengan baik. Dalam proses cleansing final sebelum naskah dibawa ke presiden, Setneg menangkap apa yang seharusnya tidak ada dalam UU Cipta Kerja dan mengomunikasikan dengan DPR," kata Dini.
Kembali lagi Dini menekankan bahwa, penghapusan Pasal 46 dalam naskah final UU Cipta Kerja justru menjadikan substansi kembali sejalan dengan kesepakatan dalam rapat panja.