REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni membantah pernyataan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilemahkan dalam setahun Periode II pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Dia menilai, pernyataan itu tak sepenuhnya benar.
Menurut catatan Sahroni, sejauh ini, KPK tetap aktif melakukan berbagai program pencegahan korupsi. Dia menyebut, ICW hanya melihat faktor penindakan dalam mengukur kekuatan KPK.
“Mungkin ICW hanya melihat kinerja KPK dari berapa banyak koruptor yang ditangkap. Padahal, kan kita semua sepakat, yang harus digenjot oleh KPK adalah fungsi pencegahan. Bagaimana orang tidak bisa leluasa lagi melakukan korupsi,” ujar Sahroni saat dihubungi, Jumat (23/10).
Politikus Nasdem ini mencontohkan, saat ini, KPK sendiri telah memiliki Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stratnas PK) yang telah dilakukan oleh 54 kementerian/lembaga di 34 provinsi, dan 508 kabupaten/kota dan secara nasional. Adapun pencapaian dari program ini adalah sebesar 58,52 persen ada dalam kategori baik.
“Dari sini saja kita bisa lihat bahwa KPK makin ke sini makin proaktif masuk ke banyak lini di pemerintahan, baik pusat maupun daerah untuk mengawasi dan memastikan sistem yg tak bercelah untuk melakukan korupsi,” kata Sahroni.
Dengan adanya program-program ini, menurut Sahroni para koruptor juga akan makin sulit untuk melakukan korupsi, hingga menyebabkan angka kasusnya berkurang. “Kalau dengan fungisi pengawasan yang ketat ini orang-orang jadi susah korupsi, ya otomatis kasus OTT juga berkurang kan. Jadi saya rasa kita harus melihat hal ini dengan lebih holistik,” ujarnya menambahkan.
Sebelumnya, Indonesian Corruption Watch (ICW) menyebut bahwa pemerintahan saat ini telah sukses mengebiri KPK. Menurut peneliti ICW Kurnia Ramadhan, kepemimpinan Jokowi hanya mengutamakan investasi dan mengabaikan penegakkan hukum.
ICW menilai, Joko Widodo – Ma’aruf Amin memulai pemerintahannya dengan setumpuk catatan buruk. Satu hal yang terang diingat publik adalah pelemahan sistematis terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Presiden Jokowi tidak memperdulikan protes keras dari kampus, akademisi, tokoh masyarakat yang dihormati, kelompok masyarakat sipil dari berbagai isu dan sektor, para ekonom, mahasiswa di berbagai daerah, serta masyarakat umum yang memberikan suara penolakannya melalui berbagai demonstrasi, polling atau survei.