Sabtu 24 Oct 2020 16:13 WIB

Pengamat: Demo UU Cipta Kerja Akumulasi Ketidakpuasan

Jika pemerintah lambat dan tak ramah, dikhawatirkan terjadi lonjakan ketidakpuasan

Pengamat Politik FISIP Universitas Indonesia, Aditya Perdana (tengah)
Foto: Republika/Prayogi
Pengamat Politik FISIP Universitas Indonesia, Aditya Perdana (tengah)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja yang telah disahkan masih terus berlangsung, meski jumlahnya tidak sebanyak yang terjadi manakala UU tersebut disahkan. Pengamat Politik FISIP Universitas Indonesia, Aditya Perdana menilai protes terhadap UU Cipta Kerja merupakan akumulasi ketidakpuasan publik terhadap pemerintahan di masa pandemi.

"Protes-protes ini seharusnya disikapi oleh pemerintah secara bijak dengan tidak melakukan represi yang berlebihan. Tugas aparat keamanan dalam konteks protes tersebut adalah memastikan ruang ekspresi publik dapat tersalurkan dengan baik, tanpa ada intervensi kelompok yang ingin mengambil keuntungan tertentu dari aksi unjuk rasa tersebut," katanya, Sabtu (24/10).

Menurutnya, pandemi Covid-19 memperlihatkan banyaknya masalah manajemen pemerintahan terutama di sektor kesehatan. Seringkali, keluhan terkait masalah manajemen pemerintahan diungkapkan di dunia maya. Namun, hal tersebut meluas ketika muncul protes yang menyangkut hal-hal mendasar seperti yang tertuang dalam UU Cipta Kerja.

"Maka, saya merasa tidak heran bila kita menemukan ada koneksi protes sosial di ranah offline dan online," katanya.

Untuk itu, lanjut dia, pemerintah dan para politisi di DPR harus sepenuhnya paham bahwa pandemi mendorong perubahan sosial akibat pertumbuhan dunia digital yang semakin pesat.

"Apabila respon pemerintah lambat dan cenderung tidak ramah ataupun abai terhadap perubahan sosial ini, saya khawatir akan terjadi lonjakan ketidakpuasan yang semakin meluas dan bersifat massif. Implikasinya tentu terkait dengan legitimasi pemerintahan," katanya.

Ia pun mengingatkan unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja merupakan sebuah ekspresi politik. Unjuk rasa adalah sah dan dijamin oleh konstitusi. Siapapun memiliki hak yang sama dalam menyatakan pandangan terhadap situasi sosial dan politik yang ada, termasuk kelompok mahasiswa dan buruh yang keberatan terhadap UU Cipta Kerja tersebut.

"Pemerintah dan DPR juga punya kesempatan untuk membela diri terhadap kebijakan yang diambil. Inilah esensi sebuah negara demokrasi. Ruang partisipasi masih terbuka luas dan ada jaminan hukum terhadap hal tersebut," katanya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement