Ahad 25 Oct 2020 08:30 WIB

Dilema Pasien Tuberkulosis di Masa Pandemi Covid-19

Ada penurunan angka temuan kasus baru TB yang cukup signifikan sejak pandemi.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Reiny Dwinanda
Pasien Tuberkulosis melihat hasil ronsen dadanya. Indonesia, India, China, menjadi tiga negara penderita TBC terbesar dunia.
Foto: EPA
Pasien Tuberkulosis melihat hasil ronsen dadanya. Indonesia, India, China, menjadi tiga negara penderita TBC terbesar dunia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pandemi Covid-19 membawa kerisauan tersendiri bagi pasien tuberkulosis (TB) di Indonesia. Kerisauan ini dinilai turut berdampak pada keengganan pasien TB untuk berobat ke rumah sakit hingga menurunnya temuan kasus baru TB.

Senior Program Manager Stop TB Partnership Indonesia (STPI) Lukman Hakim mengatakan ada penurunan angka temuan kasus baru TB yang cukup signifikan. Hal ini terlihat dengan membandingkan angka temuan kasus baru TB pada periode Maret-Juni tahun lalu dan tahun ini.

Baca Juga

"Penurunan cukup drastis, artinya banyak orang dengan TB yang tidak ditemukan dan tidak terobati," ujar Lukman dalam diskusi daring publik "Tuberkulosis di Tengah Pemberitaan Covid-19", Jumat (23/10).

Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Yayasan Pejuang Tangguh TB RO (Peta) Jakarta Ully Ulwiyah. Ia menilai, salah satu faktor yang mendorong terjadinya penurunan tersebut adalah keengganan pasien-pasien dengan gejala TB untuk datang ke fasilitas layanan kesehatan dan memeriksakan kondisi mereka lebih lanjut.

"Melihat dari pasien baru yang memang sekarang turun angkanya, berkaitan dengan kekhawatiran itu, ketakutan untuk ke layanan itu sendiri," kata Ully.

Selain itu, sebagian pasien yang memiliki gejala juga merasa enggan untuk memeriksakan diri karena terkendala biaya. Ully mengatakan seluruh pengobatan TB memang digratiskan bila ditangani di fasilitas kesehatan yang menjadi rujukan pemerintah.

Akan tetapi, di masa pandemi ini, pasien biasanya juga diminta untuk menjalani pengetesan Covid-19. Biaya untuk pengetesan ini terkadang ditanggung oleh pasien.

"Biaya itu tadi juga kadang jadi kendala," jelas Ully.

Selain pada pasien baru, pasien yang sudah terdiagnosis TB dan sedang menjalani pengobatan juga turut terdampak. Ully mengatakan, ada pasien yang memiliki ketakutan berlebihan terhadap Covid-19 sehingga mereka merasa takut untuk pergi ke fasilitas layanan keshatan. Padahal, pasien TB diharuskan untuk melakukan kontrol ke dokter satu bulan sekali.

Ully menyebut, ada banyak pasien rujukan yang seharusnya menjalani pengetesan untuk mengetahui apakah mereka mengalami TB multidrug-resistant (MDR) atau tidak. Akan tetapi, banyak dari keluarga pasien yang menolak untuk melakukan pengetesan tersebut.

"Karena selain tes dahak dan rontgen itu, sekarang juga kan memang harus tes Covid-19. Keluarga khawatirnya bukan kena TB malah kena Covid-19," pungkas Ully.

Kendala juga dirasakan Ully terkait pemberian pendampingan pada pasien TB, khususnya pasien TB MDR. Alasannya, pendampingan biasanya membutuhkan interaksi langsung dengan pasien TB. Akan tetapi, interaksi ini menjadi terbatas di masa pandemi Covid-19.

"Pasien yang harusnya minum obat di rumah sakit, yang harusnya bisa kita tmeui di rumah sakit, saat ini memang dibatasi," takatambah Ully.

Keterbatasan ruang perawatan untuk pasien TB MDR juga turut membawa dilema. Di masa pandemi Covid-19, Ully mengatakan, cukup banyak fasilitas kesehatan yang sebelumnya melayani pasien TB MDR kini menjadi fasilitas kesehatan rujukan Covid-19.

Ully mengatakan, ada pasien TB MDR yang memiliki kondisi cukup berat, namun tidak bisa mendapatkan perawatan karena keterbatasan tempat untuk merawat pasien MDR. Bahkan, menurut Ully, ada pasien dampingan Peta yang meninggal dunia karena terlambat ditangani.

"Harus lempar sana-lempar sini, karena keterbatasan ruang perawatan untuk pasien MDR, karena ruang perawatan MDR dan Covid-19 hampir sama, karena memang harus diisolasi," papar Ully.

Terkait pengobatan ke fasilitas layanan kesehatan, pasien TB atau pasien dengan gejala TB sebenarnya tidak perlu takut. Sejak Maret-April lalu, sudah diterapkan protokol layanan TB di masa pandemi Covid-19.

Protokol ini mendorong terciptanya layanan pengobatan TB yang aman di masa pandemi. Berdasarkan protokol ini, ada beragam upaya yang diatur untuk mencegah penularan TB dan Covid-19 di fasilitas-fasilitas layanan kesehatan.

"Harus memastikan (pemakaian) masker, harus memastikan adanya jaga jarak, termasuk harus memastikan layanan sputum, pemeriksaan sputum atau dahak, itu dilakukan," ujar Lukman.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement