REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam beberapa aksi unjuk rasa akhir-akhir ini disuguhkan kerusuhan yang melibatkan usia remaja bahkan masih di bawah umur. Bahkan, setiap ada demonstrasi yang melibatkan massa banyak, petugas selalu mengamankan ratusan remaja yang diduga terlibat atau akan berbuat kerusuhan. Ada beberapa di antara mereka yang harus jadi tersangka dan diproses hukum.
Psikolog Arijani Lasmawati mendifinisikan perilaku menyimpang yang dilakukan oleh anak remaja di bawah 18 tahun sebagai kenakalan. Namun, dalam undang-undang mereka yang sudah berumur 18 tahun sudah dianggap sebagai pelaku tindak kejahatan atau kriminal. "Seperti, pencurian, pencurian dengan kekerasan, ikut kerusuhan saat ada unjuk rasa dan lainnya," ujar Arijani saat dihubungi melalui sambungan telepon, Sabtu (25/10).
Namun sebenarnya, kata Arijani, tidak ada masalah dengan aksi demonstrasi karena telah dilindungi oleh undang-undang. Baginya, semua warga negara, termasuk para remaja berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum secara langsung.
Hanya saja, aksi tersebut menjadi anarkis, artinya sudah mulai melanggar hak-hak orang lain. Seperti menutup Jalan melempar-lempar dan merusak fasilitas publik maka itu adalah tindakan kriminal
Terkait mereka yang sudah berusia 18 sampai dengan 21 tahun ke atas, kata Arijani, jika dihadapan hukum, maka sudah masuk masuk kategori dewasa. Namun dalam kajiannya, usia remaja itu sampai dengan usia 21 tahun dan itu ada pada tahap remaja akhir.
Sehingga meski di atas 18 tahun hingga 21 tahun tapi perangainya pun, kata Arijani, masih remaja kategorinya, kerentanannya, dan kondisi psikisnya tak ubahnya anak remaja.
"Kalau dia kurang dari 18 tahun, maka bisa dikatakan itu kenakalan. Atau memang perilaku kriminal tapi dengan ancaman hukuman yang diberikan semacam diskon disebutnya diversi kalau bahasa hukum, pengurang hukuman seperti orang dewasa. Itu bagian dari negara undang-undang itu berpihak kepada anak-anak," terangnya
Terkait fenomena tindakan remaja, baik saat mengikuti aksi unjuk rasa atau lainnya, menurut Arijani, bukan hanya terjadi sekarang saja. Karena memang masih belum melakukan banyak hal sebagaimana orang dewasa dalam pengengambilan keputusan.
Mereka dalam bertindak tidak memikirkan apa akibatnya. Kemudian masalah emosional juga, kata Arijani, karena memang fase pertumbuhan secara hormonal mereka.
"Kan masih dalam masa pancoroba yang sehingga yang berpotensi mudah tersinggung, mudah emosi itu khasnya remaja. Bukan ada remaja yang baik, terus kalau yang mudah emosional itu remaja yang jelek, mau baik mau jelek itu fitrahnya," tutur Arijani.
Maka, tidak heran jika banyak remaja yang terlibat dalam aksi unjuk rasa. Karena disamping mudah diajak, mereka juga ada perasaan bangga jika terlibat dalam aksi massa yang sangat penting.
Sekalipun mereka tidak mengetahui detail kenapa mereka melakukan aksi unjuk rasa menolak Undang-undang Omnibus Law Ciptakerja. Atau kebijakan pemerintah lainnya yang dianggap tidak memihak rakyat kecil.
"Selalu yang memikii ide adalah orang-orang dewasa, ketika mereka akan bergerak tentu butuh massa yang besar. Kalau yang bergerak itu mungkin kesannya tidak nendang atau kelihatan kurang memberikan efek," ucap Arijani.