REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) meminta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mengevaluasi Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) secara menyeluruh. FSGI memantau PJJ justru menimbulkan masalah baru di lapangan.
Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti mengatakan PJJ hanya mendapat nilai 55 alias tidak tuntas dalam evaluasi setahun kinerja Mendikbud. Kelebihan PJJ mencegah sekolah menjadi kluster baru penularan Covid-19. Namun kekurangannya malah lebih banyak.
Salah satunya PJJ menimbulkan korban karena tingkat stres siswa dan orangtua siswa bertambah. Bahkan dilaporkan ada siswi meninggal karena beratnya PJJ. "Banyak anak yang sulit diajari selama PJJ mendapat kekerasan dari orangtuanya," kata Retno dalam konferensi pers evaluasi setahun Mendikbud yang diadakan FSGI pada Ahad (25/10).
Retno meminta Mendikbud agar memetakan permasalahan PJJ dengan data terpilah. Misalnya masalah hambatan PJJ secara daring dan luring per sekolah, per kecamatan, per kabupaten, per provinsi dan secara nasional. "Data ini diperlukan untuk melihat permasalahan secara spesifik sehingga intervensi pemerintah menjadi tepat sasaran dan tepat manfaat," ujar Retno.
Retno menyayangkan banyak masalah PJJ yang tidak terselesaikan, mulai dari PJJ fase pertama sampai fase kedua saat ini. Padahal masalahnya masih sama, diantaranya: peserta didik dan pendidik tidak memiliki alat PJJ secara daring, sulitnya sinyal di daerah tertentu, mahalnya kuota internet. "Langkah penanganan PJJ yang telah dilakukan justru tidak didasarkan pada akar masalanya, sehingga cenderung salah obat karena diagnosanya keliru," ucap Retno.
Retno mengeluhkan pihak Kemendikbud yang seakan menutupi evaluasi PJJ. Padahal FSGI juga ingin memberi masukan demi perbaikan PJJ. "Salah hanya beri bantuan kuota saja tanpa evaluasi berkesinambungan. Kami berharap penyelesaian masalahnya atas dasar data," tegas Retno.