Senin 26 Oct 2020 08:53 WIB

Penyintas Covid-19 Banyak yang Alami Insomnia Parah

Penyintas Covid-19 takut tertidur karena khawatir hal mengerikan akan menimpannya.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Reiny Dwinanda
Insomnia (Ilustrasi). Insomnia yang dialami penyintas Covid-19 kemungkinan merupakan dampak psikologis yang bisa disamakan dengan gangguan stres pascatrauma.
Foto: Republika/Wihdan
Insomnia (Ilustrasi). Insomnia yang dialami penyintas Covid-19 kemungkinan merupakan dampak psikologis yang bisa disamakan dengan gangguan stres pascatrauma.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setengah dari pasien yang pulih dari Covid-19 melaporkan kesulitan tidur sebagai salah satu gejala yang masih tersisa. Temuan ini didapat dari hasil dari survei terhadap lebih dari 1.500 orang di grup Facebook Survivor Corp (sumber rujukan untuk penyintas Covid-19 dengan lebih dari 100 ribu anggota).

Sekitar 16 persen penyintas Covid-19 melaporkan, mereka tidur lebih lama dari biasanya. Anggota kelompok kadang-kadang disebut "long-haulers" karena mereka mengalami efek jangka panjang dari penyakit.

Baca Juga

Dr. Meir Kryger, peneliti tidur dan profesor di Yale School of Medicine di New Haven, Connecticut, telah melihat pasien dengan beberapa jenis gejala jangka panjang yang sangat signifikan terkait dengan tidur. Sebagian besar penyintas tidak pernah cukup sakit dengan Covid-19 untuk dirawat di rumah sakit, tetapi masih berjuang dengan masalah psikologis dan fisiologis jangka panjang.

photo
Selain insomnia, parosmia dan phantosmia juga usik penyintas Covid-19 - (Republika)

Dilansir laman Today, Ahad (25/10), beberapa orang mengalami insomnia yang parah. Mereka juga mengalami ketakutan untuk tertidur karena mereka berpikir sesuatu yang mengerikan akan terjadi pada mereka.

Menurut dr Kryger, seorang pasien bahkan berakhir dengan depresi parah dan bunuh diri beberapa bulan setelah terkena Covid-19 karena ketakutan akan mengalami kematian saat tidur. Dr Kryger menyamakan dampak psikologis dengan gangguan stres pascatrauma, tetapi dengan gejala yang berbeda.

Beberapa penyintas Covid-19 bangun dengan sesak napas dan kekurangan oksigen dalam darah, yang menunjukkan gejala pernapasan kronis setelah penyakit awal. Yang lain tampaknya telah mengembangkan kelainan pada sistem saraf pusat mereka.

"Saya pikir apa yang mereka alami adalah masalah dalam cara otak mereka mengontrol pernapasan mereka saat tidur. Pada pasien tersebut, virus telah mengganggu kontrol pernapasan normal. Kita belum memiliki cukup literatur medis untuk memahami apa yang terjadi dengan pasien ini," katanya.

Selama krisis saat ini, para dokter telah menemukan bahwa selain merusak paru-paru, virus corona baru juga dapat berdampak pada jantung, ginjal, otak, sistem saraf, dan sistem pembuluh darah. Jika hal itu memengaruhi tidur, seluruh hidup seseorang dapat terganggu.

Franco, yang meminta agar nama belakangnya tidak digunakan dalam artikel ini karena alasan privasi, adalah seorang akademisi di Boston yang sempat menjadi suspect kasus Covid-19 pada bulan Maret. Dia melacak kadar oksigen darahnya selama berbulan-bulan karena malam-malam menakutkan yang dia alami selama perjalanan awal penyakitnya.

"Ketika saya tertidur atau mulai tertidur, saya merasa seperti berhenti bernapas dan tubuh saya akan bangun dan saya terengah-engah.

Rasanya seperti tenggelam, itu menakutkan," kenang Franco, 37 tahun, selama dua pekan musim semi ini.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement