REPUBLIKA.CO.ID, ISRAEL - Presiden Israel, Reuven Rivlin, pada hari Ahad (26/10) menyerukan agar Israel membantu mencegah penjualan sebagian dari koleksi di Museum Seni Islam Yerusalem. Disebutkan ada sekitar 200 barang akan dijual melalui rumah lelang Sotheby's London.
Museum peradaban Islam yang diberi nama LA Mayer Museum of Islamic Art tengah menghadapi tekanan keuangan, terutama di masa pandemi virus corona ini. Sehingga mereka terpaksa menjual sebagian barang-barang peninggalan peradaban Islam agar museum tetap buka.
"Ada 190 benda seni Islam yang tersimpan di museum dengan 60 jam serta arloji sebagai koleksi permanenya. Benda-benda tersebut akan dijual pada 27 dan 28 Oktober," menurut Sotheby's dilansir dari Times Of Israel pada Senin (26/10).
Penjualan karya-karya Islam, termasuk manuskrip, permadani, dan karpet, diperkirakan menghasilkan uang antara 4,13 juta dolar AS ( Rp 60,6 miliar) dan 6,1 juta dolar (Rp 89 miliar) ke museum. Jam tangan, yang akan ditawarkan pada hari kedua lelang, diperkirakan memiliki nilai gabungan 2,2 juta dolar AS-3,4 juta dolar AS atau setara dengan Rp 32 miliar - Rp 49,9 miliar.
Menanggapi hal tersebut, Presiden Israel, Rivlin mengaku prihatin atas rencana penjualan barang-barang berharga itu. Rivlin berjanji untuk mencarikan solusi untuk mencegah penjualan itu.
"Kita harus menemukan cara yang ada bagi Negara Israel di bidang hukum dan internasional, untuk mencegah penjualan aset budaya ini dari museum secara keseluruhan," kata Rivlin.
Revlin mengatakan bahwa Museum Seni Islam, yang tidak jauh dari kediamannya itu, serta museum lainnya di seluruh Israel adalah gudang aset spiritual dan material yang sangat bernilai untuk Negara Israel dan Timur Tengah. Karena itu Revlin akan melakukan semua yang ia bisa untuk mempertahankan benda-benda tersebut di Israel.
Keputusan museum untuk menjual barang-barang tersebut menimbulkan kemarahan otoritas arkeologi dan budaya Israel dan internasional.
Direktur Museum Nadim Sheiban mengatakan pada bulan lalu, bahwa pihaknya telah membuat beberapa keputusan yang sangat sulit. Pihaknya juga mengaku tidak ingin merusak inti dan prestise dari koleksi di museum itu.
Apalagi mengingat tujuan didirikannya museum 40 tahun lalu itu untuk menjembatani kesenjangan antara umat Yahudi dan umat Muslim. Karena itu, supaya museum tetap berdiri, dia pertama kali tergerak untuk menjual bagian dari koleksi museum adalah saat krisis keuangan pada 2017 ditambah dengan pandemi virus korona, semakin membulatkan keputusannya.
"Kami takut kehilangan museum dan terpaksa menutup pintu. Jika kami tidak bertindak sekarang, kami harus tutup dalam lima sampai tujuh tahun. Kami memutuskan untuk bertindak dan tidak menunggu runtuhnya museum," ujar Sheiban.
Karya seni tersebut, tegas Sheiban, tidak dianggap sebagai harta nasional, karena sebagian besar benda-benda yang dimilikinya dibawa dari seluruh dunia dan tidak ditemukan di Israel atau Palestina. Hal itulah yang memungkinkan museum untuk secara legal menjual beberapa koleksi, karena Otoritas Kepurbakalaan Israel harus memberikan izin untuk setiap benda kuno yang meninggalkan negara itu.
Dermawan museum, Salomons adalah seorang mahasiswa dan pemuja seni dan arsitektur Islam. Dia mengumpulkan koleksi kaligrafi Islam, perhiasan kerawang, fitur arsitektur Islam, dan menambahkan koleksi jam tangan berharga milik ayahnya, David Salomons, dari awal tahun ke-20.
Sekitar 60 item dari koleksinya akan dijual pada hari kedua penjualan. Masih ada 160 benda dari koleksi jam tangan di museum itu.