REPUBLIKA.CO.ID, AUCKLAND - Mahasiswa Universitas Auckland, Selandia Baru, Aarushi Kumar, menulis artikel tentang Prancis dan Muslim yang dimuat di Milligazette pada Ahad (25/10). Pria yang mengambil jurusan kriminologi dan sosiologi itu menyampaikan, banyak minoritas terpinggirkan di Prancis yang menonjolkan perbedaannya.
Hal itu jika dilihat secara lahiriah Prancis sebagai negara kesetaraan, kebebasan dan persaudaraan, dan menjunjung tinggi lambang persatuan budaya. Dari ketidakadilan rasial dan ketidaksetaraan ekonomi yang secara tidak proporsional mempengaruhi subordinasi dalam masyarakat, Prancis telah menjadi salah satu wilayah tepatnya. Di antara pandemi global, demokrasi Prancis, inklusi yang adil dari semua warga negara di dalam Negara telah digantikan oleh kemunafikan.
Keputusan yang absurd bahwa meskipun masker wajah wajib digunakan di ruang publik, cadar akan tetap bertahan dalam mengkriminalisasi wanita Muslim secara tidak proporsional. Ketidakadilan yang tak tertandingi, penindasan yang murni kejam melalui negara, adalah pembatasan kebebasan wanita Muslim.
Dilakukan melalui hubungan antagonis antara Prancis dan Islam, antara akulturasi dan tradisi agama, pakaian yang menutupi wajah wanita Muslim untuk menjaga kesopanannya, burqa telah ditindas di Prancis melalui hukum.