REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Legal Culture Institute, M Rizqi Azmi berharap agar dua jenderal Polri, Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo Utomo, berani mengungkapkan fakta skandal penghapusam red notice terhadap Djoko Tjandra. Rizqi menilai kedua jenderal merupakan "Dader" atau pelaku tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 55 ayat ke-1 KUHP, namun dalam analisa criminal justice system bukanlah intelektual dader.
"Mereka ada pion ke dua dari pemain kasus ini. Oleh karenanya kita mengharapkan ke dua jenderal ini berani mengungkapkan fakta dan rahasia penghapusan red notice secara terang benderang sampai terbuka bukti baru yang dapat di selami untuk mendapatkan intelektual dadernya, " kata Rizqi Azmi kepada Republika.co.id, Senin (26/10).
Rizqi melanjutkan, bila menilik dari peristiwa hukum setelah penangkapan Djoko Tjandra, kedua pejabat Polri ini merupakan poin sentral yang menjadi sasaran tembak. Bahkan saat melakukan penahanan terhadap keduanya pun sempat mengalami kesulitan.
Selanjutnya, pernyataan Napoleon yang menegaskan masih setia kepada Polri pun menjadi sinyal yang dikirim Napoleon kepada si pelaku utama. Menurut Rizqi tak menutup kumgkinan sinyal yang Napoleon sampaikan mengarah kepada internal Polri.
"Oleh karenanya keberanian Napolen dan Prasetijo harus diuji dulu dalam persidangan, " ujarnya lagi.
Rizqi menambahkan, bila melihat dari pasal yang diamini JPU berupa pasal 5 ayat (2) , 11 dan 12 UU Tipikor, maka terlihat politik dalam penentuan deliknya. Karena hanya berbicara suap bukan persoalan moralitas.
"Sehingga kita lihat estimasi hukuman pun kecil 5 tahun dan minimal 4 serta maksimal 20 tahun. Berkaca dari kasus penyiraman air keras Novel Baswedan oleh oknum internal Polri, Jaksa pun hanya memberikan hukuman minimal dari rentang hukuman maksimal yang ada dalam delik materilnya," jelasnya.
Artinya, indikasi pesimistis penanganan kasus ini menjadi terang menderang akan semakin kecil. Menurutnya, besar kemungkinan akan ada indikasi efek "jual beli" dan tawar menawar pasal disini.
Sehingga pada akhirnya hukuman pun akan mengamankan para Jenderal tersebut. Namun, pengamanan tidak pada tataran pemecatan seperti kasus Novel Baswedan. "Selanjutnya kita akan melihat pernyataan akan " dibuka semuanya" oleh Napoleon akan menjadi hambar, " ucapnya.
Adapun, dalam penanganan perkara dalam kontek memberikan efek jera dan maksimum punishment seharusnya Jaksa mencari pasal yang memberatkan bukan meringankan dikarenakan beberapa unsur yaitu pelaku korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum. Sehingga bila jaksa menetapkan hukuman berat barulah secara politik acaranya bisa menekan Napoleon dan Prasetijo untuk membuka kebenaran.
"Karena pasti mereka takut mendapat hukuman berat. Tapi kalau dipagari dengan hukuman kecil pasti mereka tidak akan maksimal mengeluarkan kejadian sebenarnya," ujarnya.
"Sehingga selalu beginilah akhir kasus yang melibatkan para aparat penegak hukum. Selesai dengan permainan pasal yang melemahkan hakim dalam mengambil keputusan, " tambahnya.
Kejaksaan Agung (Kejakgung) menebalkan lima sangkaan berlapis terhadap dua jenderal tersebut. Dari laman PN Tipikor Jakarta Pusat, kanal Sistem Informasi Penanganan Perkara (SIPP) disebutkan, terhadap terdakwa Irjen Napoleon dan Brigjen Prasetijo, masing-masing ada lima sangkaan yang sama dalam dakwaan. Dakwaan pertama, terkait dengan Pasal 5 ayat (2) juncto Pasal 5 ayat (1) a UU Tipikor 31/1999-20/2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana. Ancaman pidana terkait penerapan pasal penerimaan, dan pemberian suap tersebut, maksimal lima tahun penjara.
Dakwaan kedua, dua jenderal itu, dijerat masing-masing dengan sangkaan Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 5 ayat (1) b UU Tipikor, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana. Dakwaan ketiga, JPU menebalkan Pasal 11 UU Tipikor. Sangkaan tersebut, terkait dengan penerimaan hadiah atau janji, terkait dengan kekuasan, dan kewenangan sebagai penyelenggara negara. Ancaman pidananya pun sama, maksimal lima tahun penjara.
Paling berat, dakwan keempat, dan kelima. JPU mendakwa Irjen Napoleon, dan Brigjen Prasetijo dengan sangkaan dalam Pasal 12 huruf a dan b. Sangkaan tersebut, pun terkait dengan penerimaan hadiah, atau janji. Namun terkait dengan jabatan yang bertentangan dengan kewajibannya. Ancaman pidana terkait dakwaan keempat dan kelima ini paling berat. Karena mengacu UU Tipikor, terdakwa Irjen Napoleon, dan Brigjen Prasetijo bisa masuk bui maksimal 20 tahun penjara jika terbukti.
Dalam kasus suap, gratifikasi penghapusan red notice ini, penyidikan yang dilakukan Dirtipikor Bareskrim Polri menguatkan dugaan adanya penerimaan uang, dan janji dalam bentuk lain terhadap Irjen Napoleon, dan Brigjen Prasetijo. Djoko Tjandra, menyediakan uang Rp 10 miliar kepada Tommy Sumardi selaku pengusaha, agar mencari jalan untuk menghapusa status buronan di interpol dan imigrasi.