REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Tiga perusahaan teknologi besar Amerika Serikat (AS) memanfaatkan celah dalam aturan pajak global untuk menghindari pembayaran pajak di negara berkembang. Nilainya mencapai 2,8 miliar dolar AS per tahun atau sekitar Rp 41,160 triliun (kurs Rp 14.700 per dolar AS), menurut penelitian oleh badan amal anti-kemiskinan ActionAid International.
Tiga raksasa teknologi, Facebook, Google dan Microsoft dituduh gagal membayar pajak yang cukup besar di negara-negara miskin. Padahal, di negara tersebut, pemerintahannya berjuang untuk menyediakan perawatan kesehatan atau pendidikan dasar bagi warganya.
Seperti dilansir di The Guardian, Senin (26/10), India, Indonesia, Brasil, Nigeria dan Bangladesh merupakan negara dengan kesenjangan pajak tertinggi yang melibatkan tiga raksasa teknologi.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan, 20 negara yang diteliti oleh ActionAid perlu mempekerjakan setidaknya 1,79 juta perawat lagi pada 2030 untuk mencapai standar 40 perawat per 10 ribu orang. Kekurangan ini dapat dipenuhi hanya dalam tiga tahun jika aturan pajak global mengizinkan pajak yang adil dari tiga perusahaan teknologi besar dan pendapatan dialokasikan untuk tujuan kesehatan.
ActionAid International menyebutkan, penelitiannya menunjukkan, hilangnya pendapatan dari kesenjangan pajak tersebut dapat digunakan untuk kepentingan pendidikan secara signifikan. Nilai 2,8 miliar dolar AS dapat digunakan untuk membayar lebih dari 700 ribu guru baru atau 850 ribu guru sekolah dasar.
Tidak ada kesan bahwa perusahaan teknologi melanggar aturan atau secara aktif menghindari pajak. ActionAid mengatakan, potensi pajak hilang karena kegagalan para pemimpin dunia untuk menerapkan standar pajak global. Khususnya dalam memaksa perusahaan multinasional untuk membayar lebih banyak pajak di negara tempat mereka menghasilkan pendapatan.
ActionAid menjelaskan, informasi mengenai berapa banyak pajak yang harus dibayar perusahaan-perusahaan negara ini di negara berkembang masih terlalu sedikit. Sebab, mereka masih belum diwajibkan untuk mengungkapkan informasi ini kepada publik.
Tapi, penelitian menunjukkan, miliaran dolar AS yang hilang dapat dipertaruhkan dalam reformasi perpajakan perusahaan internasional yang telah lama tertunda. "Cukup untuk mengubah sistem kesehatan dan pendidikan yang kekurangan dana di beberapa negara termiskin di dunia," ujar ActionAid.
David Archer, juru bicara perpajakan global untuk ActionAid International, mengatakan, perempuan dan kaum muda harus menanggung beban dari sistem usang perpajakan internasional.
Sistem ini memungkinkan perusahaan teknologi besar seperti Facebook, Alphabet (perusahaan induk Google) dan Microsoft meraup untung besar selama pandemi. Di sisi lain, mereka hanya memberikan sedikit atau tidak sama sekali kontribusi terhadap layanan publik di negara-negara belahan selatan dunia.
Archer menjelaskan, celah pajak 2,8 miliar dolar AS hanyalah puncak gunung es mengingat penelitian hanya mencakup tiga raksasa teknologi. "Tapi, uang yang akan dibayarkan Facebook, Alphabet dan Microsoft di bawah aturan pajak yang lebih adil dapat mengubah layanan publik bagi jutaan orang," katanya.