REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Perekonomian Korea Selatan pulih dari resesi yang disebabkan Covid-19 pada kuartal ketiga 2020. Pulihnya perekonomian Korea Selatan karena permintaan ekspor tumbuh menyusul pelonggaran penguncian di wilayah tersebut.
Ekonomi terbesar keempat di Asia ini tumbuh dengan penyesuaian musiman sebesar 1,9 persen selama periode Juli-September dari kuartal sebelumnya, Bank of Korea mengatakan Selasa (27/10). Angka pertumbuhan ini lebih cepat dari perkiraan sejumlah ekonom yang memprediksi bahwa ekonomi Korsel hanya akan tumbuh 1,7 persen.
Pada kuartal II tahun ini, ekonomi Korsel mengalami kontraksi 3,2 persen. Ini menjadi kontraksi tertajam sejak 1998.
Dilansir laman Nikkei Asia, Selasa (27/10), ekspor Korea Selatan ke AS tumbuh 23,2 persen pada September dari tahun sebelumnya, dan naik 15,4 persen ke Eropa. Rebound terjadi karena pasar utama luar negeri membuka kembali ekonomi mereka setelah lockdown ketat pada kuartal kedua.
Namun, bank sentral memperingatkan bahwa permintaan domestik Korea Selatan tetap lemah meskipun pengeluaran pemerintah yang besar untuk mendukung perekonomian. Analis mengatakan, sektor jasa negara tetap lemah karena virus corona telah memisahkannya dari industri manufaktur.
"Covid-19 telah mempercepat terputusnya hubungan ekonomi antara sektor manufaktur dan jasa, secara tidak proporsional merugikan sektor jasa," kata Park Jeong-woo, ekonom Korea di Nomura.
"Bahkan ketika sektor manufaktur telah pulih setelah pelonggaran lockdown, layanan tetap lemah."
Institut Pembangunan Korea yang dikelola negara mengatakan bahwa konflik antara AS dan China menimbulkan risiko bagi ekonomi Korea Selatan karena ekspornya sangat bergantung pada dua ekonomi terbesar dunia itu.
"Konflik AS-China dapat meningkatkan ketidakpastian dalam ekonomi global, menyebabkan risiko bagi perdagangan dan pasar keuangan dunia. Ini dapat membebani ekonomi kita, mengganggu ekspor kita," kata KDI dalam sebuah laporan.