REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Kementerian Luar Negeri Libya mengecam komentar islamofobia yang dilontarkan Presiden Prancis, Emmanuel Macron baru-baru ini. Karenanya, itu ia menuntut Macron melakukan permintaan maaf kepada Muslim di seluruh dunia.
Menurut juru bicara Kementerian Luar Negeri Libya Ahmed Al-Qeblawi, penghinaan yang dilakukan Macron terhadap Muslim sengaja dirancang untuk memicu kebencian demi keuntungan politik. Karena itu, dia berharap Macron segera menghentikan komentar-komentar kontroversialnya dan meminta maaf kepada satu miliar umat Islam di dunia, termasuk jutaan Muslim Prancis.
Pernyataan ini menolak klaim bahwa komentar Macron dilindungi oleh hak kebebasan berbicara. Berdasarkan catatan Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa pada 2018 menyatakan menghina Nabi tidak dianggap sebagai bagian dari kebebasan berekspresi.
Prancis menganggap satir religius termasuk kebebasan berekspresi. Sementara bagi umat Muslim, tidak ada yang bisa dibenarkan terhadap serangan apa pun yang ditunjukkan kepada Nabi Muhammad dan itu termasuk pelanggaran berat.
Pada 16 Oktober, seorang anak berusia 18 tahun asal Chechnya memenggal kepala seorang guru, yang telah memperlihatkan karikatur Nabi Muhammad kepada para siswa di kelas. Atas peristiwa tersebut, Macron bersumpah akan menindak tegas 'separatisme'.
Melalui RUU yang akan diusungnya, Macron akan melawan kelompok radikal. Macron tidak menyukai Muslim Prancis karena dianggap melawan nilai-nilai Prancis dan lebih mengutamakan hukum agama Islam. Seruan untuk memboikot barang-barang berlabel Prancis terus berdatangan dari Yordania, Kuwait, Qatar, dan Irak.
Seruan boikot tersebut keluar setelah Macron mengatakan negaranya tidak akan menyerahkan kartun yang menggambarkan Nabi Muhammad. Kementerian luar negeri Prancis mendesak agar seruan boikot segera dihentikan di negara-negara di mana seruan boikot telah dilakukan. Selain itu, terus memantau dan memastikan keamanan bagi warga Prancis di negara-negara tersebut.
"Seruan untuk boikot tidak berdasar dan harus segera dihentikan, seperti halnya semua serangan terhadap negara kami yang telah dimanipulasi oleh minoritas radikal," kata pernyataan kementerian dilansir di Al Araby, Selasa (27/10).