Selasa 27 Oct 2020 16:36 WIB

Claudine Aoun: Lebanon-Israel Bisa Damai dengan Syarat

Claudine Aoun pantik kemarahan rakyat Lebanon karena gagasan damai dengan Israel

Rep: Fergi Nadira/ Red: Christiyaningsih
Bendera Lebanon
Foto: bestourism,com
Bendera Lebanon

REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT - Putri Presiden Lebanon Michel Aoun, Claudine Aoun, membuat marah rakyat Lebanon pekan ini karena komentarnya yang mendukung gagasan perdamaian dengan Israel. Dia mendukung perdamaian dengan Israel dengan syarat sejak bulan lalu.

"Sebelum berbicara tentang perdamaian, kita harus membuat batas-batas dan menyelesaikan masalah yang terkait dengan tanah kita," tulisnya pada 24 September lalu merujuk pada sengketa perbatasan laut antarnegara, yang saat ini sedang dinegosiasikan dengan Israel melalui perundingan yang ditengahi Amerika Serikat, dan beberapa sengketa tanah kecil.

Baca Juga

"Kemudian saya mendukung penerapan strategi pertahanan yang akan mempertahankan diri kita sendiri saat kita diserang," kata dia dikutip laman Time of Israel, Selasa.

"Kami semua mendukung prinsip perdamaian dan saya berharap untuk mengunjungi Yerusalem, tetapi tidak sebelum semua masalah diselesaikan," ujarnya menambahkan.

Dalam cuitan Ahad (25/10), Claudine mengungkapkan kondisi jika ingin perdamaian dengan Israel. Dia mengatakan masalah pengungsi Palestina juga harus diselesaikan. Ini merupakan salah satu masalah inti dari konflik Israel-Palestina, yang kemungkinan hanya akan diselesaikan sebagai bagian dari perjanjian perdamaian umum antara kedua belah pihak.

 

"Setelah masalah ini diselesaikan, saya tidak akan keberatan dengan prospek kesepakatan damai antara negara Lebanon dan Israel," katanya.

Komentarnya tentang Israel telah menerima tanggapan keras di media sosial Lebanon. Beberapa pengguna media sosial menuduhnya sebagai "pengkhianat".

Lebanon dan Israel secara teknis masih berperang. Keduanya mengadakan pembicaraan yang belum pernah terjadi sebelumnya di bawah naungan PBB dan AS awal bulan ini untuk menyelesaikan sengketa perbatasan laut dan membuka jalan bagi eksplorasi minyak dan gas.

Pembicaraan, yang diadakan di pangkalan pasukan penjaga perdamaian PBB di kota perbatasan Lebanon Naqura, berlangsung selama sekitar satu jam. Pembicaraan ini terjadi beberapa pekan setelah Bahrain dan Uni Emirat Arab menjadi negara Arab pertama yang menjalin hubungan dengan Israel sejak Mesir pada 1979 dan Yordania pada 1994.

 

Putaran kedua negosiasi akan digelar pada 28 Oktober. Lebanon bersikeras negosiasi tersebut murni teknis dan tidak melibatkan normalisasi politik lunak dengan Israel.

Israel mengesampingkan pentingnya pembicaraan. Namun Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengatakan kontak pada akhirnya mungkin mengarah pada kesepakatan damai.

Dalam debat Knesset, dia mengakui selama kelompok teror Hizbullah secara efektif mengendalikan Lebanon tidak akan ada perdamaian sejati dengan negara itu. Namun, dia kemudian mengatakan bahwa pembicaraan maritim, negosiasi pertama antara negara-negara dalam 30 tahun, membawa potensi besar dan signifikansi ekonomi baik bagi mereka maupun bagi negara.

"Saya menyerukan kepada pemerintah Lebanon terus menyelesaikan pembicaraan ini untuk membatasi perbatasan laut, dan mungkin ini akan menandai langkah pertama menuju hari lain yang akan datang, di masa depan, (di mana kami) mencapai perdamaian sejati," kata Netanyahu.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement