REPUBLIKA.CO.ID, oleh Sapto Andika Candra, Indira Rezkisari
Konspirasi. Tidak nyata. Hoaks.
Tidak semua orang percaya adanya Covid-19. Buktinya, meski dunia hampir satu tahun lamanya mengenal Covid-19 masih ada pihak-pihak yang menyebarkan informasi palsu tentang Covid-19.
Beberapa hari lalu muncul video dari Aliansi Dokter Dunia. Pernyataan para 'dokter' ini menjadi ramai karena mereka meyakini Covid-19 tidak nyata dan bahkan mengajak masyarakat dunia menandatangani surat terbuka agar pemerintah di seluruh dunia mengakhiri lockdown.
Pemerintah ikut menanggapi pernyataan yang disampaikan sekelompok orang menamai diri mereka Aliansi Dokter Dunia itu. Video yang menampilkan kelompok ini viral di media sosial dan semakin membingungkan masyarakat akibat narasi yang dibawakan.
Aliansi Dokter Dunia, yang juga beranggotakan ilmuwan dan aktivis, menyuarakan bahwa Covid-19 sebenarnya tidak lebih berbahaya dari influenza biasa. Kelompok ini menuding bahwa kondisi yang sebenarnya terjadi tidak semengerikan pemberitaan di media massa.
Menanggapi pernyataan Aliansi Dokter Dunia tersebut, Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito, meminta masyarakat hati-hati dalam menyerap informasi di media sosial. Menurutnya, pernyataan yang disampaikan Aliansi Dokter Dunia itu jelas mengandung misinformasi.
"Terdapat tiga bentuk misinformasi terkait Covid-19. Pertama adalah misinformasi terhadap keyakinan yang bersifat umum, kedua keyakinan terhadap teori konspirasi, dan ketiga keyakinan dari agama," ujar Wiku dalam keterangan pers, Selasa (27/10).
Soal Covid-19 yang dibilang tidak lebih bahaya dari influenza misalnya, Wiku mengingatkan dinamika dalam proses transmisi dan akibat yang muncul dari kedua penyakit tersebut sangat berbeda. Wiku meminta masyarakat tetap merujuk pada lembaga kesehatan kredibel terkait informasi mengenai Covid-19, dalam hal ini Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) di AS, atau Satgas Penanganan Covid-19 di Indonesia.
"Bagi rekan-rekan jurnalis maka masalah disinformasi ini dapat dilawan dengan melakukan konfirmasi kepada pengamat yang memiliki ideologi konservatif di media yaitu bisa tokoh masyarakat, atau tokoh terpandang serta memiliki akses terhadap data dan informasi yang valid," ujar Wiku.
Wiku pun menambahkan sesungguhnya perkembangan pengendalian Covid-19 di dunia saat ini sudah dalam level yang lebih baik dibanding beberapa bulan terakhir. Kunci pencegahan penularan Covid-19, ujarnya, tetap kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan yakni menggunakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan sesering mungkin.
Sebagai informasi, persentase kasus aktif Covid-19 dunia saat ini sebanyak 23,84 persen. Sementara persentase kasus sembuh dunia mencapai 73,49 persen dan persentase kasus kematian dunia 2,65 persen.
Kehebohan dari Aliansi Dokter Dunia ini bermula dari video sepanjang 30 menit oleh tujuh dokter dari Jerman, Belanda, Swedia, dan Inggris yang mengatakan mereka meyakini upaya lockdown di seluruh bagian dunia harus dihentikan. Di situsnya, dikutip dari AP, aliansi ini mendeskripsikan diri sebagai sekelompok profesional di bidang kesehatan yang independen dan nirlaba yang bergabung untuk menghentikan lockdown.
"Kami ingin menyatakan tidak ada pandemi medis atau epidemi," ucap Elke de Klerk, yang mengenalkan dirinya sebagai dokter umum mewakili Belanda, dalam video. Tayangan tersebut sudah dilihat ratusan ribu orang di media sosial.
Dalam upaya cek fakta yang dilakukan AP, ketika WHO mendeklarasikan Covid-19 sebagai pandemi di 11 Maret 2020, Dirjen WHO Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus mengutarakan alasannya. Yakni karena peningkatan level penyebaran dan keparahan kasus.
Saat itu telah terjadi 118 ribu kasus di 114 negara. Sedangkan 4.291 orang telah dinyatakan meninggal akibat Covid-19 pada 11 Maret.
Sekarang kasus Covid-19 global telah mencapai 41,8 juta kasus. Dan, 1,1 juta orang di dunia menjadi korban jiwa Covid-19 berdasarkan data yang dikumpulkan Johns Hopkins University.
Dalam videonya De Klerk juga menyampaikan sejumlah klaim yang dipastikan palsu. Termasuk bahwa virus ini adalah virus flu biasa. Sedangkan kepanikan akibat Covid-19 disebabkan oleh tes PCR yang hasilnya palsu.
Virus corona dan flu memang memiliki gejala yang mirip. Tapi keduanya dipastikan sangat berbeda.
Berdasarkan pernyataan CDC, Covid-19 lebih mudah menyebar dibandingkan flu biasa. Covid-19 juga bisa menyebabkan penyakit dengan kondisi parah. Belum ada vaksin untuk melindungi tubuh melawan corona, tapi sudah ada vaksin untuk menanggulangi influenza.
Dalam videonya De Klerk mengatakan 89 persen hingga 94 persen hasil tes PCR yang positif adalah palsu. Ia pun menganjurkan tidak melakukan tes PCR Covid-19. "Tenaga kesehatan harus berhenti melihat hasil tes itu," katanya.
Beberapa tenaga kesehatan memang sangat kritis terhadap tes PCR, karena faktor sensitivitasnya. Tes PCR menentukan materi gentik virus. Tes tersebut mengandalkan peralatan laboratorium dan alat kimia.
Michael Joseph Mina, dokter dan profesor epidemiologi di Sekolah Kesehatan Publik Harvard, mengatakan tidak benar mayoritas tes PCR hasilnya palsu. Ia juga tidak membenarkan ajakan tidak melakukan tes PCR. Ia memastikan tes PCR hasilnya akurat. PCR sanggup mendeteksi RNA dari SARS2. Ia justru menekankan pentingnya tes PCR dilakukan dalam jumlah masif, bukan sebaliknya.