REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG--Pilkada Serentak 9 Desember 2020 bukan hanya dibayangi wabah Corona. Dalam tahapan kampanye sejauh ini, kasus dugaan politik identitas terindikasi meningkat. Hal ini terungkap dalam Diskusi Kelompok Terarah 'Pencegahan Politik Identitas Dan Politik Uang Dalam Pemilu Dalam Rangka Mewujudkan Pemilu Yang Sesuai Dengan Demokrasi Pancasila' di Kota Solo, Selasa (27/10).
Wakil Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Hariyono mengingatkan, jika dalam pemilu masih menonjolkan politik identitas, itu sama artinya konsep Sumpah Pemuda belum tuntas. "Pilkada Desember nanti sebenarnya salah satu konsekuensi dari komitmen para pendiri bangsa. Sejak 1945, mereka menginginkan pemimpin bukan ditentukan keturunan, ras, tapi berdasarkan kompetensi dan prestasi," ujarnya.
Menurut Hariyono, Pancasila hanya dapat diwujudkan setelah bangsa Indonesia merdeka secara politik. Sayangnya, nasionalisme Indonesia yang inklusif belum dapat dipahami dan diamalkan oleh seluruh elemen bangsa. "Dalam kondisi yang demikian, upaya pihak tertentu yang mengedepankan identitas primordial melalui pengerahan massa perlu disikapi secara bijak untuk diajak refleksi dan berdialog," beber penulis beberapa buku ini.
Berbahayanya politik identitas dan uang juga disinggung oleh Wakil Rektor Universitas Sebelas Maret (UNS), Ahmad Yunus. Pemilu atau Pilkada bisa kehilangan jati dirinya sebagai pilar demokrasi. "Logika yang digunakan adalah aji mumpung. Mumpung calon pemimpin kasih duit dan belum melupakan masyarakat," ujarnya.
Ahmad mengajak publik dan stakeholder pemilu untuk melawan politik identitas dan uang yang telah menurunkan kualitas moral bangsa. "Prinsip demokrasi yang dijalankan harus sesuai dengan Pancasila," tandasnya.
Staf Khusus BPIP Antonius Benny Susetyo menegaskan, ancaman di Pilkada adalah potensi adanya politik identitas dan kasus SARA. "Masyarakat hanya menerima informasi tanpa adanya filterisasi. Masyarakat digiring pada isu negatif, dan sentimen SARA yang merusak persatuan," ujar Benny.
Rohaniawan ini menilai, seyogyanya calon kepala daerah milik khalayak ramai. "Pemimpin itu merangkul semuanya. Jangan membedakan apapun karena Indonesia beragam," kata Benny.
Komisioner KPU RI Viryan Aziz menjelaskan bahwa politik identitas ini adalah menyalahgunakan politik berbasis kelompok seperti suku, agama, ras antar kelompok untuk mengambil keuntungan. Adapun politik uang memberikan uang atau sejenisnya untuk mendapatkan suara. "Politik identitas digunakan secara mudah memantik emosional pemilih secara efektif dan murah. Politik identitas ini semakin marak terjadi seiring dengan mudahnya orang-orang secara online atau dalam jaringan," jelasnya.
Adapun Koordinator Divisi Penindakan Pelanggaran Bawaslu Jawa Tengah, Sri Wahyu Ananingsih menjelaakan, sejauh ini sudah ditempuh berbagai cara menangani kasus terkait politik identitas. "Strategi Bawaslu dengan pencegahan pelanggaran dan sengketa pemilu, membangun komunikasi dan koordinasi dengan stakeholder masing-masing wilayah. Lalu mengoptimalkan sosialisasi penyediaan informasi dan pendidikan politik kepada masyarakat," kata Sri.
Soal politik uang, lanjutnya, ada beberapa tahapan pencegahan. Mulai pengawasan langsung, pengembangan pengawasan partisipatif, hingga menjalin kerjasama dengan stakeholder dan sosialisasi pendidikan politik.
Diskusi Kelompok Terarah tersebut diinisiasi oleh Deputi Bidang Hukum dan Advokasi Pengawasan Regulasi BPIP. Selain pemateri tadi, hadir pula jajaran KPU, Bawaslu, Kesbangpol, dan sivitas akademika se-Solo Raya.