REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Jatuhnya angka kehamilan dan pernikahan di Jepang selama pandemi virus corona cenderung meningkatkan krisis demografi di negara yang menua dengan cepat itu.
Jepang memiliki masyarakat paling tua di dunia, dengan lebih dari 35 persen populasinya diperkirakan akan berusia 65 tahun ke atas pada tahun 2050, suatu kecenderungan yang menimbulkan risiko bagi pertumbuhan ekonomi serta membebani keuangan pemerintah.
"Saya rasa penyebaran virus corona membuat banyak orang khawatir tentang hamil, melahirkan, dan membesarkan anak," kata Tetsushi Sakamoto, menteri yang bertanggung jawab atas penanganan penurunan angka kelahiran di Jepang, dalam konferensi pers pada Jumat (23/10).
Data resmi yang baru-baru ini diterbitkan menunjukkan jumlah kehamilan yang dilaporkan dalam tiga bulan hingga Juli turun 11,4 persen dari tahun sebelumnya. Sementara itu, jumlah pernikahan pada periode yang sama turun 36,9 persen. Penurunan tajam dalam perkawinan merupakan masalah penting karena mayoritas bayi di Jepang lahir dalam ikatan pernikahan.
"Ini sangat serius karena efek negatif bisa terus berlanjut, dengan kemerosotan ekonomi yang menyebabkan lebih sedikit pernikahan, dan kemudian kelahiran yang lebih sedikit," kata Hideo Kumano, kepala ekonom di Dai-ichi Life Research Institute.
Pandemi telah memperburuk kecenderunganpenurunan angka kelahiran yang sudah ada sebelumnya, yang oleh mantan Perdana Menteri Shinzo Abe disebut sebagai "krisis nasional". Jumlah kelahiran di Jepang pada 2019 turun 5,8 persen menjadi sekitar 865.000, angka tahunan terendah yang pernah ada.
Asosiasi Pediatri Jepang telah memperingatkan penurunan angka kelahiran kemungkinan akan terjadi lebih cepat sepuluh tahun karena pandemi. Kecenderungan itu tidak hanya dapat menghapus pengobatan pediatrik tetapi juga memiliki dampak yang luas. Dana Moneter Internasional telah memperkirakan pertumbuhan ekonomi global sekitar 5,2 persen pada 2021, tetapi memperkirakan pertumbuhan Jepang akan mendekati 2,3 persen.
Sebuah survei baru-baru ini oleh surat kabar Nikkei menunjukkan bahwa mayoritas dari 22 ekonom yang disurvei memperkirakan bahwa ekonomi Jepang tidak akan kembali ke level sebelum pandemi sebelum tahun 2024, yang mengindikasikan keadaan tak menguntungkan bagi orang-orang untuk menikah.
Para pembuat kebijakan berjuang untuk mengatasi krisis tersebut, dengan mengupayakan perawatan kesuburan dengan asuransi kesehatan dan menggandakan batas atas tunjangan pemerintah satu kali untuk pengantin baru menjadi 600.000 yen (sekitar Rp 83,9 juta).
“Ada berbagai prediksi tentang apa yang akan terjadi jika angka kelahiran terus turun, tapi satu hal yang pasti. Sistem yang ada sekarang, termasuk sistem jaminan sosial, tidak akan berfungsi lagi,” ujar Masaji Matsuyama, mantan menteri yang membidangi masalah penurunan kelahiran, kepada Reuters.
"Ini akan menjadi krisis di mana keberadaan bangsa seperti yang kita kenal dipertaruhkan."