Para peneliti meyakini, dengan menawarkan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau kepada penduduk desa dan masyarakat adat yang tinggal di dekat hutan, dapat membantu mengurangi masalah pembalakan liar yang dituduh memicu perubahan iklim.
Sebuah studi terbaru yang dipimpin Universitas Stanford yang diterbitkan dalam jurnal Proceedings of the National Aceademy Sciences, menganalisis sebuah klinik yang terletak di dekat Taman Nasonal Gunung Palung, Kalimantan Barat, yang menyediakan layanan kesehatan terjangkau. Penelitian dilakukan selama peiode 2009 hingga 2019.
Menggabungkan data citra satelit tutupan hutan dengan catatan pasien, tim peneliti menilai kehadiran layanan tersebut berperan dalam penurunan 70% deforestasi – setara dengan 27 km persegi luas hutan - dibandingkan dengan taman nasional lain yang ada di Indonesia. Angka ini setara dengan hilangnya karbon yang bernilai lebih dari US$ 65 juta (Rp 910 miliar).
Salah satu tim penulis, Susanne Sokolow, peneliti dari Standford Institute for the Environment mengamati penurunan deforestasi yang signifikan tersebut.
“Penting, kami juga menemukan, semakin banyak penduduk desa yang terlibat, dengan berapa kali mereka pergi ke klinik atau berpartisipasi dalam program konservasi…semakin banyak dampak yang kami lihat,” ujar Sokolow dikutip dari Reuters.
Laporan tersebut mengungkap menurunnya angka penebangan pohon paling signifikan terjadi di hutan di sebelah desa yang paling banyak mengunakan layanan klinik.
Manusia dan hutan berkaitan erat
Secara global, sekitar 35 persen kawasan alam yang dilindungi dimiliki secara tradisional, dimanfaatkan dan ditempati oleh masyarakat adat dan komunitas lokal. Akan tetapi, mereka jarang mendapat perhatian dalam program konservasi dan iklim.
Dua yayasan nirlaba yang fokus dalam bidang kesehatan dan lingkungan yakni Alam Sehat Lestari (ASRI) yang berbasis di Indonesia dan Health In Harmony yang berbasis di Amerika Serikat, mengajukan pertanyaan kepada masyarakat setempat, hingga akhirnya menemukan bahwa alasan utama mereka menebang pohon, adalah untuk membayar biaya pengobatan.
Berbasis alasan tersebut kedua yayasan mendirikan klinik pelayanan kesehatan yang terjangkau pada tahun 2007. Klinik tersebut menerima pembayaran alternatif seperti bibit pohon, hasil kerajinan tangan, pupuk kandang, atau tenaga kerja. Klinik juga memberikan potongan harga untuk desa-desa yang terbukti mengalami penurunan deforestasi.
Direktur Eksekutif ASRI Nur Febriani, dalam sebuah diskusi virtual beberapa waktu lalu menegaskan, kesehatan dan kelestarian hutan merupakan dua aspek yang saling berkaitan erat.
“Manusia tidak akan bisa sehat tanpa hutan yang sehat, dan sebaliknya hutan tidak sehat jika manusianya tidak sehat. Karena kalau manusianya tidak sehat, mereka membutuhkan uang untuk akses kesehatan, yang nantinya bisa merambah hutan. Dua-duanya perlu kita berikan perhatian yang cukup,” katanya.
Deforestasi picu munculnya penyakit zoonosis?
Berdasarkan laporan Greenpeace Indonesia, deforestasi khususnya di hutan tropis merupakan pintu awal dari munculnya penyakit zoonosis. Zoonosis adalah penyakit yang ditularkan dari hewan atau serangga ke manusia, atau sebaliknya.
“Penebangan hutan, perburuan, hingga perdagangan satwa liar menimbulkan risiko besar bagi penularan antar spesies dan dampaknya dapat meluas ke seluruh dunia karena menggunakan jalur perjalanan internasional serta faktor kepadatan populasi yang tinggi,” kata laporan tersebut.
Greenpeace Indonesia meyakini telah terjadi peningkatan kemunculan penyakit zoonosis dalam lima puluh tahun terakhir akibat invasi manusia ke hutan atau alam liar, khususnya di wilayah tropis seperti Indonesia.
“Deforestasi juga dikaitkan dengan wabah malaria di Kalimantan. Diperkirakan malaria menewaskan lebih dari 400.000 orang pada 2018,“ kata laporan tersebut.
rap/as (dari berbagai sumber)