REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Aad Satria Permadi*
Waingapu adalah kota kecil di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Salah satu yang paling terkenal dari kota ini adalah kerukunan antarumat beragamanya. Lebih dari satu abad, tidak pernah ada konflik antarumat beragama di sana. Bahkan, ketika konflik antar mat beragama sedang hits di pulau Jawa, masyarakat Waingapu tidak terpengaruh sama sekali.
Saya meneliti fenomena ini selama hampir satu tahun. Tokoh-tokoh agama di sana mengungkapkan bahwa ada perasaan satu tali perut dalam sanubari masyarakat Waingapu. Mereka merasa bersaudara, seperti saudara kandung, walaupun berbeda agama. Itulah yang membuat mereka mampu menjaga kerukunan antarumat beragama lebih dari seabad.
Kesadaran bersaudara layaknya saudara kandung antarumat beragama dibentuk oleh kenyataan bahwa nenek moyang orang Waingapu terbiasa kawin-mahwin antar agama. Entah sejak kapan pastinya kawin-mawin antar umat beragama ini bermula di Waingapu.
Namun, salah satu pemuka agama Islam tertua di Waingapu, Habib Umar AL-Gadhrie, mengatakan bahwa praktik kawin-mawin antarumat beragama dimulai sejak Islam masuk di Waingapu pada abad ke-17. Saat itu, seorang Habib bermarga Algadrie yang mempraktikkannya sebagai sarana dakwah.
Agar tidak disalahpahami, yang dimaksudkan kawin-mahwin antar umat beragama di Waingapu adalah pernikahan sepasang orang (yang sebelumnya) berbeda agama. Dalam prosesnya, kemudian salah satu menyesuaikan dengan agama pasangannya.
Dulu, masih banyak yang tidak menyesuaikan agama pasangannya. Masing-masing memegang keyakinan sembari mengarungi bahtera rumah tangga. Namun sekarang, penyesuaian agama antara pasangan dilakukan sebelum pernikahan. Penyesuaian (perpindahan) agama pasangam ini tidak membuat persaudaraan antar keluarga mempelai luntur. Justru mereka semakin bersatu dalam perbedaan.
Ketika meneliti tentang kerukunan antar umat beragama di Waingapu, saya kesulitan menemukan tokoh-tokoh masyarakat yang tidak memiliki saudara dari keluarga yang berbeda agama. Semuanya punya saudara dari agama yang berbeda!
Salah satu kisah menarik terjadi dalam kehidupan keluarga Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Sumba Timur, Bapak Haji Ilyas. Beliau adalah salah satu pemuka agama Islam di Waingapu yang bersaudara kandung dengan seorang Pendeta Protestan. Persaudaraan mereka sebagai saudara kandung sangat mesra.
Beberapa tahun yang lalu, ketika Haji Ilyas berangkat ke Mekkah untuk ibadah Haji, seluruh persiapan keberangatan dan penjemputan di-handle oleh sang adik yang pendeta itu. Haji Ilyas menceritakan bahwa adiknya menyiapkan acara kesenian sampai memasang sendiri spanduk ucapan Selamat Jalan dan Selamat Datang untuk dirinya. Ia menceritakan kejadian tersebut dengan datar-datar saja, seakan-akan fenomena itu sudah biasa terjadi di Waingapu. Masyarakat pun tidak heboh melihat ada Pendeta memasang spanduk ucapan selamat naik haji. Mereka tahu, sang pendeta adalah adik dari orang yang berangkat haji tersebut.
Kesadaran yang menjinakkan potensi konflik
Di Waingapu bukannya tidak ada pemicu konflik antarumat beragama. Namun, pemicu-pemicu konflik tersebut "dijinakkan" dengan kesadaran satu tali perut tersebut. Contoh paling menarik adalah cara orang Marapu (aliran kepercayaan asli Sumba) meredam keinginannya membalas vandalisme yang dilakukan oleh oknum-oknum dari kelompok agama lain. Suatu hari, ketika aliran kepercayaan belum diakui setara dengan agama, seringkali terjadi pengrusakan terhadap sesembahan kepercayaan Marapu.'
Marapu saat ini bukanlah agama mayoritas di Sumba. Namun secara budaya, Marapu adalah budaya Sumba itu sendiri. Artinya, komunitas budaya Marapu adalah mayoritas. Saya bertanya kepada salah seorang tetua adat Marapu, mengapa mereka yang mayoritas ini tidak membalas pengrusakan sesembahan Marapu tersebut. Pak Umbu Remi, begitu saya memanggilnya, mengatakan, "Kami tidak akan menyerang rumah ibadah mereka sebagai tindakan pembalasan, karena di antara mereka pasti masih ada pertalian darah dengan kami. Mereka juga saudara kami. Nanti mereka juga kena bala atas perbuatan mereka. Ada balasan dari Tuhan."
Rasa persaudaraan setali perut yang menghalangi pikiran mereka untuk membalas pengrusakan sesembahan. Ada keyakinan bahwa di antara kelompoknya orang-orang yang melakukan pengrusakan pasti ada orang yang bertalian darah dengan orang Marapu. Lalu muncul perasaan bersalah jika melakukan pembalasan, karena sama dengan melukai saudara sendiri. Rasa bersalah ini kemudian membentuk pola pikir reduksionis, bahwa pelaku kejahatan adalah oknum, bukan kelompok. Dan oknum-oknum itu nantinya akan mendapatkan balasan dari Tuhan.
Kahwin-mahwin antar agama di Waingapu juga diikuti dengan perpindahan agama dalam masyarakat. Kalau di pulau Jawa, perpindahan agama mudah sekali menjadi isu konflik. Namun berbeda dengan yang terjadi dalam masyarakat Waingapu. Kesadaran setali perut ini menuntun mereka untuk melakukan introspeksi kelompok, bukan menyalahkan kelompok agama lain.
Saya bertanya tentang tanggapan beliau soal umat Islam Waingapu yang berpindah agama kepada Ustaz Kadir. Beliau adalah satu pengurus Forum Kerukunan antar Umat Beragama (FKUB) Waingapu. Beliau menjelaskan bahwa semua bermula dari pembinaan agama di keluarga Muslim. Jika pembinaannya baik, maka godaan seperti apapun tidak akan melunturkan imannya. Namun jika pembinaannya buruk, maka akan dengan mudah berpindah agama, walaupun tidak digoda sama sekali.
Beliau menyitir salah satu ayat dalam Alquran yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka" (QS At-Tahrim:6). Menurut beliau, inilah ayat yang dapat dipakai untuk memaknai berpindah agamanya saudara-saudara muslim di Waingapu. Umat Islam perlu introspeksi, apakah sudah benar pembinaan agama di keluarganya atau belum.
Senada dengan Ustaz Kadir, Pendeta Apri, ketua FKUB Waingapu yang beragama Protestan pun mengatakan bahwa ada tanggung jawab pribadi dalam perpindahan agama di kalangan umat Protestan Waingapu. Beliau mengatakan, tentu sebagai pemuka agama Protestan merasa sedih dan kecewa jika ada jamaahnya yang berpindah agama. Namun, jika orang yang berpindah agama itu sudah dewasa maka harus diterima sebagai pilihan bebas dan tanggung jawab individu tersebut.
Kesadaran setali perut membentuk pola pikir bahwa seluruh orang Waingapu adalah bersaudara, apapun agamanya. Artinya, ada perasaan sebagai satu kelompok walaupun berbeda agama. Kesadaran setali perut mengubah kesadaran "kami" (sebagai kelompok-kelompok umat beragama) menjadi "kita" (sebagai satu kelompok yang bersaudara).
Itulah sebabnya, cara berpikir yang terbentuk ketika menghadapi isu perpindahan agama, orang Waingapu lebih memilih untuk melakukan introspeksi. Menganggap bahwa pengaruh perpindahan agama ada dalam internal mereka sendiri, bukan dari pihak luar. Mengapa bukan dari pihak luar? Karena pada dasarnya, tidak ada pihak luar di antar orang Waingapu ("kami" dan "mereka"). Semuanya bersaudara ("kita").
Andai orang Waingapu mengikat diri dalam kesadaran kelompok-kelompok agamanya ("kami"), maka mereka akan menganggap faktor eksternal (pengaruh kelompok agama lain/ "mereka") sebagai sebab berpindahnya keimanan orang Waingapu. Dalam ilmu psikologi, kedasaran satu tali perut adalah bentuk rekategorisasi sosial yang menyatukan kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat.
Rekategorisasi sosial kemudian membentuk pikiran internal attribution, yaitu menganggap bahwa penyebab perpindahan agama ada pada internal kelompok atau diri sendiri, bukan dari sebab eksternal (external attribution). Dengan pola pikir ini, maka konflik tidak terjadi. Bagaimana mau berkonflik jika yang disalahkan adalah dirinya atau kelompoknya sendiri?
Agama baru dan kebiasaan baru
Berpindah agamanya orang Waingapu, diikuti dengan perubahan kebiasaannya. Kadang perubahan kebiasan karena perpindahan agama ini berbenturan dengan kebiasaan-kebiasaan keluarga yang berbeda agama. Logikanya, akan terjadi konflik akibat benturan kebiasaan-kebiasaan tersebut. Namun di Waingapu, potensi-potensi benturan dan konflik kebiasaan itu dapat diselesaikan dengan mudah. Ini juga karena kesadaran setali perut.
Saya ingin bercerita tentang keluarga besar Raja Prailiu yang tadinya menganut kepercayaan Marapu namun sekarang sudah banyak yang menganut agama Protestan dan Islam. Pak Umbu Remi menceritakan, ketika ada acara adat yang mengundang saudara-saudaranya yang sudah beragama Islam, maka penyelenggara memberikan perlakuan khusus kepada saudara-saudaranya yang Islam itu. Perlakuannya adalah menyediakan tempat dan alat masak khusus, menyediakan hewan sembelihan yang disembelih sendiri oleh orang Islam, dan menyediakan parang untuk menyembelih hewan tersebut.
Penyelenggara adat Marapu dengan suka rela menyediakan fasilitas-fasilitas tersebut secara khusus untuk saudara-saudaranya yang beragama Islam. Ketika saya tanyakan, apakah Pak Umbu Remi tidak merasa terhina karena saudaranya yang beragama Islam tidak mau makan hewan yang disembelih oleh orang Marapu? Beliau menjawab: "Tidak! Justru kami merasa terhormat mereka masih mau hadir dalam acara keluarga Marapu walaupun sudah beragama Islam."
Bagi orang Waingapu yang berbudaya Marapu, persaudaraan tidak bisa dibatasi dengan keyakinan agama. Umbu Remi mengatakan, orang Waingapu yang berbudaya Marapu lebih melihat manusia dari perbuatannya. Apa pun agamanya, tidak masalah, karena yang terpenting adalah perilakunya. Walaupun orang Marapu sudah menjadi Muslim atau seorang Protestan, dan ia masih baik terhadap keluaraganya yang Marapu, maka ia tetap disayangi sebagai saudara juga.
Budayawan Sumba, Frans Wora Hebi, mengatakan bahwa filosofi persaudaraan berbeda agama di Waingapu adalah, "Bhineka dalam keyakinan, tunggal dalam kebenaran." Keyakinan boleh berbeda, namun sejatinya orang Waingapu disatukan oleh kebenaran. Apakah kebenaran yang dimaksud? Ya persaudaraan itu sendiri!
Persaudaraan membentuk trust kepada orang yang berbeda agama, sehingga perlakuan-perlakuan khusus yang dituntut oleh pemeluk agama lain tidak direspon dengan prejudice (prasangka). Pemenuhan tuntutan perlakuan khusus dilakukan atas dasar penghormatan terhadap persaudaraan yang sudah lama terjalin, bukan karena keterpaksaan sosial.
Rasa persaudaraan yang melahirkan kasih sayang dari rahim aqidah
Ada yang menarik dari perilaku orang Muslim Waingapu. Mereka memiliki keyakinan aqidah yang sama dengan umat Islam lain, namun rasa persaudaraan membentuk aqidah sebagai rahim kasih sayang. Aqidah islamiyyah mengajarkan perbedaan antara iman dan kafir. Siapa yang beriman dan siapa yang kafir. Seakan-akan aqidah mengajarkan umat Islam untuk berpecah belah dengan umat beragama lain.
Kenyataan di luar Waingapu, kadang Aqidah dijadikan legitimasi untuk membenci umat beragama lain. Padahal ajaran aqidah pada dasarnya hanya mengajarkan perbedaan antara Muslim dan kafir, beserta konsekuensi-konsekuensinya. Bukan untuk membenci seluruh orang yang berbeda agama.
Lain dengan Muslimin Waingapu. Mereka meyakini bahwa Islamlah satu-satunya agama yang benar, dan siapa saja yang mati dalam keadaan bukan Islam, maka akan masuk neraka. Begitulah keyakinan aqidah islamiyyah yang sebenarnya. Namun, perasaan paling benar sendiri ini tidak mendorong mereka menjelek-jelekkan umat beragama lain, namun yang muncul adalah kasih sayang.
Justru karena mereka merasa saudaranya yang beragama non-Islam berpotensi masuk neraka jika mati dalam keadaan belum memeluk Islam, maka Muslimin Waingapu berusaha mengajak mereka untuk masuk surga bersama. Ada perasaan kasihan jika saudaranya tidak ikut ke surga.
Untuk itu perlu diajak dengan cara yang baik. Kalau memang ingin mengajak ke surga, maka jangan buat mereka benci kepada Islam dan umat Islam. Paling tidak, itulah yang dikatakan Ustaz Kadir, salah satu pengurus FKUB Waingapu.
Ustaz Kadir mengatakan bahwa umat Islam Waingapu selalu diajarkan akhlaq oleh ulama-ulamanya. Maksudnya sederhana, agar umat non-Islam melihat betapa anggunnya moral umat Islam. Dengan demikian mereka tertarik masuk agama Islam. Akhlak Islamiyyah ini juga dirasakan oleh Jovi, salah satu aktivis pemuda Katholik di Waingapu. Ia merasa terharus ketika umat Kristen yang keleahan mengikuti "Pawai Salib" diberi minum oleh Muslimah-Muslimah Waingapu. Jovi memang tidak masuk Islam, namun paling tidak ia memiliki kesan baik terhadap umat Islam Waingapu.
Beberapa keluarga Marapu diizinkan oleh keluarganya masuk Islam karena mereka meyakini bahwa ajaran Islam itu baik. Kesimpulan bahwa ajaran Islam baik, tentu tidak didapatkan dari kegiatan mempelajari Islam itu sendiri. Mereka mendapatkannya dari perilaku (akhlak) orang Islam di sekitar mereka. Itulah sebabnya, Pak Umbu Remi mengatakan, "(Tak mengapa masuk islam) yang penting mereka masih berbuat baik."
Dengan demikian, klaim kebenaran yang ada di setiap agama, tidak menjadikan orang Waingapu saling menjelekkan agama lain. Yang timbul justru kasih sayang, dan ini semua disebabkan oleh rasa persaudaraan yang kita sebut dengan satu tali perut.
Penutup
Perasaan bersaudara dalam masyarakat Waingapu, bukanlah sekedar perasaan sebagai sebuah entitas biasa. Namun satu tali perut ini adalah perasaan yang menyatukan orang Waingapu dalam sebuah kelompok yang lebih besar daripada kelompok ras, suku, dan agama. Istilah kerennya adalah rekategorisasi sosial! Perasaan bersaudara kemudian dikembangkan secara budaya menjadi sebuah sistem yang dapat membentuk perilaku harmonis (rukun) antarumat beragama di Waingapu.
Lebih jauh lagi, model kerukunan antarumat beragama berbasis rasa persaudaraan ini patut untuk diteliti lebih lanjut untuk kemudian dikembangkan menjadi sebuah model kerukunan asli Indonesia. Mengingat rasa persaudaraan adalah sesuatu yang primordial dalam alam bawah sadar orang Indonesia.
*Penulis adalah dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta, yang sedang melakukan penelitian tentang kerukunan antar umat beragama di Waingapu