REPUBLIKA.CO.ID, Praktik diskriminasi yang saat ini terus berlangsung pada masing-masing tingkatan, tetapi jarang dipersoalkan pada semua level, adalah diskriminasi terhadap Islam.
Dimulai dengan diskriminasi terhadap "The Cairo Declaration of Human Rights in Islam" yang memuat konsep hakiki mengenai HAM dalam perspektif Islam. Deklarasi Kairo tercetus melalui The Organization of Islamic Conference (OIC) pada Agustus 1990 di Kairo, Mesir.
Sebelumnya, pada pertemuan UNESCO, 19 September 1981, The Islamic Council yang bermukim di London berhasil menyiapkan draf deklarasi, yakni Universal Islamic Declaration of Human Rights, meskipun pada pertemuan itu berakhir dengan kegagalan meyakinkan forum untuk menerimanya.
Sayang, piagam HAM Islam yang lahir melalui Deklarasi Kairo sampai detik ini mendapat tentangan, khususnya dari Barat, yang mengakibatkan instrumen tersebut terisolasi, bahkan dikucilkan oleh PBB dan Dewan HAM.
Padahal, sekian banyak deklarasi yang hanya dihadiri kurang dari lima negara tetap diakui dan dirujuk sebagai bagian dari instrumen HAM karena seluruh materi muatannya merefleksikan materi HAM Barat.
Namun, praktik diskriminasi yang paling kasat mata dan interrelasi global adalah kebijakan Amerika Serikat dan Barat terhadap Timur Tengah. Semua orang tahu bagaimana Amerika Serikat dan Barat begitu tegas terhadap kelompok yang dituding sebagai bandit perdamaian di Irak, Afganistan, Palestina, dan lain-lain.
Namun, jika bandit itu berasal atau dilakukan Israel yang merusak perdamaian dengan kekejaman di luar batas kemanusiaan, Amerika Serikat dan Barat tenang-tenang aja, Bang. Begitulah kisah petualang sang adikuasa yang terus meneriakkan HAM, demokrasi, dan keadilan, tetapi pola penerapannya menggunakan standar ganda.
Praktik diskriminasi terhadap Islam di tingkat regional tidak berbeda keadaannya dengan sikap dan perilaku diskriminatif pada tingkat global. Perjuangan masyarakat Muslim Moro di Filipina, Pattani di Thailand, dan Karen di Myanmar tidak pernah masuk dalam agenda yang serius pembahasannya dalam KTT ASEAN sekalipun korban jiwa telah berjatuhan di pihak Muslim. Bahkan, dalam pertemuan ASEAN Intergovermental Commision on Human Rights ataupun Asian Pacific Forum on Human Rights tidak pernah diagendakan masalah ini.
Namun, jika ada pemerintahan Muslim yang mempertahankan kedaulatannya terhadap rongrongan kaum separatis dari kaum Muslim sebagaimana yang terjadi di Sudan, jangankan organisasi regional, Dewan HAM hingga International Criminal Court (ICC) PBB langsung merespons dengan cepat dan tegas.
Tidak tanggung-tanggung ICC langsung mengeluarkan keputusan bahwa Presiden Sudan Omar Basir adalah penjahat perang sehingga yang bersangkutan diperlakukan sebagai daftar pencarian orang oleh ICC. Itu berarti Omar Basir dapat ditangkap untuk dibawa dalam sidang ICC di Denhaag.