Kamis 29 Oct 2020 11:33 WIB

Gelombang Kedua Covid-19 Hambat Pemulihan Ekonomi Global

Pemerintah dan bank sentral dunia telah menjanjikan stimulus triliunan dolar AS.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Warga berjalan dengan latar belakang proyek pembangunan gedung bertingkat di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta, Selasa (20/10/2020). Gelombang kedua Covid-19 dinilai akan menghambat proses pemulihan ekonomi global pada tahun depan.
Foto: ANTARA/Dhemas Reviyanto
Warga berjalan dengan latar belakang proyek pembangunan gedung bertingkat di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta, Selasa (20/10/2020). Gelombang kedua Covid-19 dinilai akan menghambat proses pemulihan ekonomi global pada tahun depan.

REPUBLIKA.CO.ID, BENGALURU – Jajak pendapat Reuters terhadap sekitar 500 ekonom menyebutkan, ada risiko tinggi munculnya kembali virus corona yang menghambat pemulihan ekonomi global pada akhir tahun. Seperti dilansir di Reuters, Rabu (29/10), mayoritas ekonom memperkirakan, rebound tahun depan juga lebih lemah dibandingkan perkiraan semula.

Pemerintah dan bank sentral di seluruh dunia telah menjanjikan stimulus senilai triliunan dolar AS untuk membantu sebagian besar negara keluar dari resesi yang dalam. Tapi, gelombang kedua infeksi virus corona mulai muncul, terutama di tempat-tempat yang sudah melonggarkan pembatasan aktivitas sosial dan ekonomi. Dampaknya, pembatasan lebih banyak justru akan kembali berlangsung.

Baca Juga

Gelombang kedua virus corona merupakan risiko teratas yang berulang kali disorot oleh survei Reuters terhadap ekonom, analis FX, ahli strategi obligasi dan ekuitas serta manajer dana global sejak dimulainya pandemi Covid-19.

Jajak pendapat Reuters pada 6-27 Oktober terhadap ekonom di seluruh Asia, Eropa dan Amerika yang mencakup 46 negara menunjukkan sedikit tanda aktivitas memulih ke level pra Covid-19 dalam waktu dekat.

Hampir tiga perempat dari 150 analis mengatakan, kebangkitan kasus virus corona menimbulkan risiko tinggi dengan menghentikan pemulihan ekonomi global saat ini.

Kepala ekonom global di HSBC Janet Henry menjelaskan, sebelum adanya lockdown terbaru, banyak pihak sudah meyakini bahwa PDB akan lebih rendah secara permanen dibandingkan skenario tanpa pandemi.

"Pengangguran lebih tinggi dan utang lebih tinggi tampaknya tidak terhindarkan. Tapi, ada juga implikasi terhadap kesetaraan, potensi pertumbuhan jangka panjang dan stabilitas keuangan," tuturnya.

Sementara itu, belum ada tanda-tanda pandemi mereda dalam waktu dekat. Amerika Serikat (AS), Rusia, Prancis dan banyak negara lain telah mencatat rekor jumlah kasus dalam beberapa hari terakhir. Pemerintah Eropa bahkan sudah mulai memberlakukan pembatasan baru.

Ekonomi global diproyeksikan tumbuh 5,3 persen tahun depan setelah kontraksi empat persen tahun ini. Prediksi itu lebih tinggi dari proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF) sebesar 5,2 persen pada 2021.

Tapi, hampir 80 persen ekonom atau 119 dari 150 orang mengatakan, pemulihan global akan terhambat pada tahun depan. Lajunya bahkan diproyeksikan lebih lambat dibandingkan perkiraan semula.

Bagi banyak negara dengan ekonomi besar, ini menjadi pukulan hebat. Mereka terjun ke kontraksi terdalam yang pernah dicatat sejarah, kemudian tumbuh pada laju tercepat yang pernah ada, namun kembali menyusut pada kuartal berikutnya.

Ekonom pasar senior di Rabobank, Stefan Koopman, menjelaskan, situasi saat ini seperti roller coaster. "Dari penyangkalan yang membahagiakan di kuartal pertama, hingga lockdown di kuartal kedua dan pembalikan pembatasan yang memicu rebound dalam aktivitas ekonomi di kuartal ketiga," katanya.

Sayangnya, Koopman menyebutkan, kuartal keempat hadir dengan tantangan baru, yaitu gelombang kedua virus corona. Secara ekonomi, negara-negara harus bertahan setidaknya enam bulan atau lebih sebelum vaksin dapat menawarkan bantuan yang substansial.

Untuk Jepang, para ekonom mengatakan, pemerintah perlu menjanjikan paket stimulus ketiga guna menopang ekonomi yang terpukul oleh pandemi. Sementara, ekonomi Australia dan Kanada diprediksi tumbuh dalam kecepatan yang jauh lebih lemah dari perkiraan sebelumnya.

China, ekonomi terbesar kedua dunia, diproyeksikan tumbuh 8,4 persen pada 2021. Prediksi ini sangat kontras dengan pemulihan yang jauh lebih lemah di tempat lain. Tapi, beberapa ekonom di luar China memprediksi angka yang jauh lebih rendah setelah melihat efek pukulan pandemi terhadap ekonomi China sebenarnya.

Sebagian besar ekonomi pasar berkembang lainnya diperkirakan akan mengalami kesulitan tahun ini dan tahun depan. "Ekonomi pasar berkembang mengalami yang terburuk dari kontraksi ekonomi terkait Covid-19. Bahkan, kasus infeksi terus meningkat di sejumlah negara, terutama India," kata kepala penelitian makro di Barclays, Ajay Rajadhyaksha.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement