REPUBLIKA.CO.ID, oleh Haura Hafizhah, Febrianto Adi Saputro
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, mendesak adanya kenaikan upah minimum (UMP) 2021 sebesar 8 persen. Jika kenaikan 8 persen berat, Dewan Pengupahan dan pemerintah daerah bisa berdiskusi berapa kenaikan upah minimum yang dirasa tepat untuk para buruh.
“Saat ini masih banyak perusahan yang beroperasi seperti biasa. Jadi jangan dipukul rata kalau semua perusahaan tidak mampu membayar kenaikan upah minimum. Bahkan kalau pun ada yang tidak mampu, Undang-Undang (UU) sudah memberikan ruang untuk melakukan penangguhan upah minimum,” katanya dalam konferensi pers secara virtual, Jumat (30/10).
KSPI mendapat laporan dari anggota Dewan Pengupahan Nasional serta unsur serikat buruh kalau tidak ada kesepakatan apapun dari Dewan Pengupahan Nasional yang menyatakan tidak ada kenaikan upah minimum di tahun 2021. Bahkan di dalam forum yang lebih besar yang dihadiri Dewan Pengupahan Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota, tidak ada keputusan yang menyatakan upah minimum tahun 2021 tidak naik.
“Jadi, pemerintah menggunakan dasar apa mengeluarkan surat edaran yang meminta agar Gubernur tidak menaikkan upah minimum? Patut diduga Menaker berbohong terhadap argumentasi dalam mengeluarkan surat edaran tersebut,” kata dia.
Ia menambahkan ini bukan kali pertama Indonesia mengalami resesi ekonomi yang dikaitkan dengan kenaikan upah minimum. Tahun 1998 misalnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia minus di kisaran 17,6 persen. Sedangkan angka inflasi mendekati 78 persen.
Serikat buruh yang ada saat itu, bersama pemerintah dan organisasi pengusaha bersepakat untuk tidak menaikkan upah minimum di tengah resesi. Tetapi kemudian terjadi perlawanan yang keras dan masif dari buruh untuk menolak keputusan upah tidak naik tersebut. Tetapi kesepakatan itu tidak mewakili aspirasi yang berkembang di tingkat pabrik.
“Sehingga terjadilah aksi besar-besaran yang meluas di semua daerah. Presiden Habibie kemudian mengambil keputusan menaikkan upah minimum sebesar kurang lebih 16 persen,” kata dia.
Ia menegaskan dengan analogi yang sama, pertumbuhan ekonomi dan inflasi saat ini lebih rendah dibandingkan tahun 1998. Pertumbuhan ekonomi tahun ini diperkirakan minus 8 persen dan inflasi 3 persen.
KSPI meminta agar para Gubernur mengabaikan surat edaran tersebut. Kalau tidak ada kenaikan upah minimum bisa dipastikan aksi-aksi buruh akan membesar dan semakin menguat. Apalagi hal ini terjadi di tengah penolakan RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
“Bisa saja akhirnya kaum buruh mengambil keputusan mogok kerja nasional. Berbeda dengan mogok nasional yang dilakukan pada tanggal 6 sampai 8 Oktober lalu, kali ini bentuknya adalah mogok kerja nasional yang dilakukan oleh serikat buruh di tingkat pabrik,” kata dia.
Ia menambahkan persoalan upah adalah persoalan di tingkat perusahaan atau pabrik. Mereka bisa mengajukan perundingan kenaikan upah yang dilakukan secara bersamaan di masing-masing perusahaan dan jika tidak ada jalan lain (deadlock) maka sudah memenuhi persyaratan yang diatur Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan untuk melakukan mogok kerja.
“Menaker adalah orang yang paling bertanggung jawab kalau terjadi mogok kerja nasional. Setop produksi serentak di seluruh Indonesia. Itu boleh dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2003. Berbeda dengan tanggal 6 sampai 8 Oktober 2020 yang menggunakan dasar unjuk rasa. Mogok Kerja Nasional nantinya akan lebih dahsyat lagi,” kata dia.
KSPI sudah berencana menggelar aksi unjuk rasa sebanyak tiga kali pada November 2020. Aksi tersebut akan dilakukan di depan Istana Merdeka dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat.
"Aksi unjuk rasa penolakan ini akan dilakukan pada 2, 9, dan 10 November 2020. Kami lakukan aksi ini karena kami menolak UMP 2021 tidak naik. Aksi ini dilakukan secara terukur, terarah dan konstitusional. Tolong dicatat ya tidak ada kekerasan (non-violence)," kata Said Iqbal.
Kemudian, ia menjelaskan pada aksi pada 2 November 2020 pihaknya akan mengadakan aksi di depan Istana Merdeka dan MK. Lalu, pada 9 November 2020 aksi dilakukan di depan gedung DPR RI dan pada 10 November 2020 aksi ada di depan gedung Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker).
Nantinya, kata dia, akan ada puluhan ribu massa yang melakukan aksi dari 24 provinsi hampir 200 kabupaten/kota. "Kami berharap presiden bisa mengeluarkan Perppu terkait RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Selain itu, kami meminta Presiden menginstruksikan Menaker untuk mencabut surat edaran yang menyatakan tidak ada kenaikan UMP 2021," kata dia.
Presidium Gerakan Kesejahteraan Nasional (Gekanas), Indra Munaswar, menilai dampak Covid-19 yang dialami tiap perusahaan berbeda-beda. "Menaker tidak bisa memukul rata semua industri barang dan jasa dalam keadaan kolaps," kata Indra kepada Republika, Kamis (29/10).
Ia menambahkan, kondisi usaha dan ekonomi setiap perusahaan dalam menghadapi dampak Covid-19 tidak sama. Menurutnya ada perusahaan yang benar-benar terbenam, ada juga yang hidup tapi megap-megap.
"Tapi malah ada yang justru tetap stabil. Seperti misalnya usaha di sektor komunikasi, kesehatan, makanan, minuman instan, pupuk atau bahan kimia penyubur tanaman atau pembasmi hama, dan beberapa sektor industri lainnya," ujarnya.
Ia menuturkan, saat ini kaum buruh sedang dihadapkan berbagai persoalan-persoalan ketenagakerjaan yang pelik seperti soal UU Cipta Kerja. Kini persoalan tersebut ditambah keputusan upah minimum yang tidak naik. Ia meminta agar Menaker mengajak pengusaha dan serikat pekerja duduk bersama membahas masalah perhitungan upah minimum untuk tahun 2021.
"Bukan serta merta mengeluarkan SE yang tidak berdasar dan merugikan masyarakat pekerja secara keseluruhan," ucap ketua umum Federasi Serikat Pekerja Industri (FSPI) tersebut.
Indra menilai landasan hukum yang digunakan SE tersebut tidak jelas. "Dalam dasar pertimbangannya, salah satunya adalah UUK 13/2003, tanpa menyebutkan atau menunjuk pasal yang mana yang memberi wewenang kepada Menaker untuk mengeluarkan SE yang meniadakan kenaikan upah minimum tahun 2021," kata Indra.
Ia memandang yang dilakukan Menaker termasuk bentuk arogansi kekuasaan. Sebab keluarnya SE tersebut tanpa dibicarakan terlebih dahulu di tingkat tripartit nasional.
"Semestinya Menaker duduk bareng dengan pengusaha dan serikat pekerja membahas masalah perhitungan upah minimum untuk tahun 2021. Bukan serta merta mengeluarkan SE yang tidak berdasar dan merugikan masyarakat pekerja secara keseluruhan," tegasnya.
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban menilai surat edaran Menaker tentang upah minimum yang tidak naik bisa berbahaya. "Jadi SE itu kan hanya anjuran, tapi memang membahayakan, karena kadang-kadang gubernur kan mengikuti itu sebagai sebuah acuan," kata Elly.
Surat edaran tersebut berpotensi memunculkan rasa ketidakadilan. Sebab beberapa sektor justru mendapatkan keuntungan besar selama Covid-19. "Misalnya farmasi, pertambangan, sawit, elektronik, komunikasi, keuangan," ujarnya.
Sementara sektor lainnya seperti transportasi, hotel, pariwisata, restoran dinilai sangat berdampak pandemi Covid-19. Oleh karena itu ia meminta agar sektor usaha yang tidak berdampak pandemi Covid-19 tetap menaikkan upah hingga di atas 8 persen. "Jadi jangan juga mereka jadi nakal tidak menaikkan karena ada anjuran (Menaker)," ungkapnya.
Kemudian untuk sektor yang terdampak Covid-19, Elly mengatakan pemerintah sudah membantu para pekerja melalui program subsidi upah yang sudah berjalan. Selain itu, Elly juga merespons pernyataan Menaker Ida Fauziyah yang mengaku bahwa sebanyak 18 daerah telah sepakat dengan surat edaran tentang penetapan upah minimum 2021 tersebut.
Dia mendorong agar serikat pekerja dan perusahaan membentuk kesepakatan bipartit untuk menaikkan upah meskipun daerahnya sepakat dengan surat edaran Menaker tersebut.
"Jadi kalau semua berdasarkan atau mengikuti anjuran itu kan tidak ada yang naik dan itu tidak adil gitu, karena ada contoh kemarin di Jabar garmen, mereka baru saja sepakat bipartit menaikkan kenaikan upah tiga persen. Jadi kita berharap itu akan dilakukan teman-teman biar mereka juga kesejahteraannya terjaga dan perusahaan juga berusaha terjamin kan jadi hidup dua-duanya harus berjalan bersama," ucapnya.
Sebelumnya diketahui, Menaker Ida telah menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor M/11/HK.04/2020 yang ditujukan kepada Gubernur se-Indonesia. SE itu mengatur tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2021 pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Penerbitan SE ini dilakukan dalam rangka memberikan perlindungan dan keberlangsungan bekerja bagi pekerja/buruh serta menjaga kelangsungan usaha, perlu dilakukan penyesuaian terhadap penetapan upah minimum pada situasi pemulihan ekonomi di masa pandemi Covid-19.
Penerbitan SE ini juga dilatarbelakangi keberadaan pandemi Covid-19 yang telah berdampak pada kondisi perekonomian dan kemampuan perusahaan dalam memenuhi hak pekerja/buruh termasuk dalam membayar upah.
“Mempertimbangkan kondisi perekonomian Indonesia pada masa pandemi Covid-19 dan perlunya pemulihan ekonomi nasional, diminta kepada Gubernur untuk melakukan penyesuaian penetapan nilai Upah Minimum Tahun 2021 sama dengan nilai Upah Minimum Tahun 2020,” kata Menaker Ida.
Surat edaran penetapan upah minimum tersebut diteken oleh Menaker pada 26 Oktober 2020. Selanjutnya, upah minimum 2021 ini secara resmi akan ditetapkan dan diumumkan oleh seluruh pemerintah daerah pada akhir Oktober 2020.