REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Serangkaian aksi teror menakutkan terus mengguncang Prancis. Setelah peristiwa pemenggalan seorang guru, aksi pembunuhan sadis juga terjadi di sebuah gereja pada Kamis (29/10).
"Selama dua minggu terakhir, saya hanya memikirkan satu hal. Saya bertanya-tanya apakah saya harus meninggalkan Prancis?" ujar seorang pemuda Muslim, Mehdy Belabbas dilansir di New York Times, Jumat (30/10).
Pikiran tersebut melintas begitu saja setelah berhari-hari kondisi di Prancis semakin memanas. Seluruh debat publik hanya diisi oleh kejadian pemenggalan guru hingga serangan teror di gereja Nice yang diklaim oleh pejabat Prancis seluruhnya sebagai aksi teror Islam.
Sebuah masjid bahkan telah ditutup menyusul penangkapan beberapa kelompok Muslim yang dianggap ekstremis oleh pemerintah, dan bahkan menyarankan mengosongkan rak-rak makanan berlabel halal di supermarket. Menteri Dalam Negeri Prancis Gerald Darmanin menyebut Muslim Prancis sebagai musuh dari dalam.
Presiden Prancis Emmanuel Macron bersumpah terus melawan separatisme Islam. Pernyataan-pernyataan kontroversial itu mendapatkan reaksi keras dari beberapa negara Muslim, sedangkan penduduk Muslim Prancis sendiri masih berada dalam kebingungan. Muslim Prancis tanpa kecuali mengutuk kekerasan aksi keji tersebut, tetapi mereka juga takut dicap sebagai teroris.
"Setelah serangan ini, lima atau enam juta orang harus membenarkan diri mereka sendiri. Tapi kami tidak tahu apa yang diharapkan dari kami," kata Belabbas.
Mehdy Belabbas (42 tahun) adalah anak seorang pekerja konstruksi Muslim keturunan Aljazair yang tinggal di Ivry-sur-Seine. Wilayah tersebut tempat kelas pekerja di pinggiran kota di mana muslim Prancis telah berintegrasi secara ekonomi dan sosial sejak 1950.