Jumat 30 Oct 2020 17:56 WIB

Menyerang Islam, Kebebasan Berbicara atau Ujaran Kebencian?

Di dalam Islam, penggambaran Nabi Muhammad memang dilarang keras.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Muhammad Hafil
Menyerang Islam, Kebebasan Berbicara atau Ujaran Kebencian?. Foto:   Sekelompok wanita berunjuk rasa di Prancis menuntut dihentikannya Islamofobia. Sekjen PBB Antonio Guterres menyuarakan keprihatinan atas meningkatnya Islamofobia. Ilustrasi.
Foto: Christophe Petit/EPA
Menyerang Islam, Kebebasan Berbicara atau Ujaran Kebencian?. Foto: Sekelompok wanita berunjuk rasa di Prancis menuntut dihentikannya Islamofobia. Sekjen PBB Antonio Guterres menyuarakan keprihatinan atas meningkatnya Islamofobia. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Isu soal kebebasan berbicara menyeruak setelah sejumlah insiden di Prancis yang kemudian membuat negara itu bersikap lebih keras terhadap Islam dan Muslim. Awal bulan Oktober ini, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengumumkan penerapan serangkaian tindakan garis keras untuk membela nilai-nilai sekuler Prancis terhadap apa yang disebutnya sebagai 'radikalisme Islam'.

Macron juga mengatakan, bahwa Islam berada dalam krisis di seluruh dunia. Pernyataan Macron tersebut memicu reaksi dari umat Muslim di seluruh dunia. Dua pekan kemudian, seorang guru sekolah menengah bernama Samuel Paty di kota Conflans Sainte-Honorine di Prancis, dipenggal oleh seorang remaja asal Chechnya berusia 18 tahun. Pelaku kemudian ditembak mati oleh pasukan keamanan Prancis. Pembunuhan itu terjadi setelah Pati mempertunjukkan karikatur Nabi Muhammad kepada murid-muridnya di kelas kebebasan berekspresi.

Baca Juga

Di dalam Islam, penggambaran Nabi Muhammad memang dilarang keras dan dianggap sebagai penghinaan. Namun, Macron justru membela hak untuk menerbitkan karikatur keagamaan. Sikap Macron dinilai gagal mencapai keseimbangan antara perang melawan terorisme dan hukuman kolektif terhadap warga Muslim di negaranya. Prancis sendiri merupakan negara dengan populasi sekitar 5 juta Muslim, yang terbesar di Eropa.

Sikap pemerintah Prancis yang terkesan menargetkan umat Muslim memicu kemarahan umat Islam di seluruh dunia. Terlebih karena Macron mendukung karikatur Nabi SAW dipajang di gedung-gedung pemerintah di Prancis. Macron diperingatkan bahwa pendekatan agresif dan sembarangan hanya akan bermain di tangan kaum radikal. Namun, ia mengabaikan semua itu.

Retorika politik Macron yang memusuhi Islam juga telah meningkatkan polarisasi di Prancis. Misalnya, dengan terjadinya insiden penyerangan terhadap dua wanita Muslim yang mengenakan jilbab di taman di bawah Menara Eiffel. Para penyerang itu meneriakkan hinaan rasis seperti 'orang Arab kotor' sembari menikamkan pisau ke tubuh wanita Muslim tersebut.

Namun demikian, polisi Prancis tidak mencatat serangan itu sebagai kejahatan rasial. Macron juga tidak membahas serangan terhadap Muslim itu. Padahal, lebih dari 1.000 insiden Islamofobia terjadi di Prancis hanya pada 2019, termasuk 70 serangan fisik. Namun, pemerintah Prancis terus mengabaikan kejahatan tersebut.

Kini, perdebatan panas tentang perang melawan terorisme muncul lagi. Hal itu seiring munculnya ketakutan dan kebencian, Islamofobia, xenofobia dan definisi kebebasan berekspresi. Sementara itu, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan telah mengkritik cara Macron menangani masalah di negaranya. Namun, pernyataan Erdogan tentang Macron justru membuat Prancis menarik duta besarnya untuk Turki.

Pernyataan anti-Islam Macron juga telah menyebabkan seruan untuk memboikot produk Prancis di kalangan Muslim. Akan tetapi, Prancis mendesak negara-negara Timur Tengan untuk menghentikan boikot tersebut. Kementerian Luar Negeri Prancis mengatakan dalam sebuah pernyataan, bahwa seruan untuk boikot itu tidak berdasar dan harus segera dihentikan, begitu pula dengan semua serangan yang didorong oleh minoritas radikal.

Sebelumnya selama debat anggaran pada 2019, Kanselir Jerman Angela Merkel di depan Bundestag, parlemen nasional Jerman, berbicara tentang kebebasan berbicara dengan cara yang harus didengar oleh semua pemimpin Eropa. Dia mengatakan, mereka memiliki kebebasan berekspresi di Prancis.

"Untuk semua orang yang mengaku tidak bisa lagi mengutarakan pendapatnya, saya katakan ini kepada mereka: Jika Anda mengutarakan pendapat yang diucapkan, Anda harus hidup dengan fakta bahwa Anda akan dibantah. Mengekspresikan pendapat tidak datang dengan biaya nol. Tapi kebebasan berekspresi ada batasnya. Batasan itu dimulai saat kebencian menyebar. Itu dimulai ketika martabat orang lain dilanggar. Rumah ini akan dan harus menentang pidato yang ekstrim. Jika tidak, masyarakat kita tidak akan lagi menjadi masyarakat bebas seperti dulu," kata Merkel kala itu.

Dalam artikel yang diterbitkan di Daily Sabah, dilansir Jumat (30/10), pernyataan Merkel ini tampaknya tidak selaras dengan apa yang terjadi di Prancis saat ini. Komitmen terhadap kebebasan berbicara, tentunya merupakan prinsip fundamental dari semua negara demokrasi. Namun, hampir semua negara Barat memiliki undang-undang yang membatasi jenis ucapan tertentu, terutama ujaran kebencian atau ujaran ekstrem. Namun di Amerika Serikat, bahkan ekspresi paling ekstrem dari ideologi rasis dilindungi oleh Mahkamah Agung.

Akan tetapi, orang Amerika juga mengkontradiksikan diri mereka sendiri karena isu dari kebebasan berbicara keagamaan kerap dikriminalisasi dengan kedok anti-terorisme. Hal demikian mengungkapkan standar ganda dari negara terkemuka di dunia bebas.

Di sisi lain, negara-negara Eropa membatasi rasisme dan beberapa jenis ujaran ekstrem lainnya. Di Prancis, misalnya, seseorang dapat dijatuhi hukuman penjara karena menyangkal Holocaust. Selain itu, ujaran kebencian homofobik semakin dilarang, dan bahkan perkataan anti-aborsi sering kali tidak dimungkinkan.

Tetapi, anehnya, pidato anti-Islam hampir menjadi inti dari kebebasan berbicara di Eropa. Meskipun demokrasi Barat menganjurkan bahwa minoritas harus dilindungi dari ucapan yang ekstrim, namun tidak hanya kelompok sayap kanan yang mengatur nada ekstrim atau ujaran kebencian terhadap Muslim.

Rasisme anti-Muslim, kebencian dan diskriminasi terhadap Muslim di Eropa telah meningkat di kalangan kiri dan tengah, yang membenarkan kecenderungan mereka dengan klaim melindungi nilai-nilai Barat dan membela sekularisme. Dengan cara itu, mereka dapat menyembunyikan bias Islamofobik mereka.

Penghujatan dihapuskan di banyak negara Eropa, di mana nenek moyang mereka menderita hukuman keras dari keagungan gereja selama berabad-abad. Karena itu, dapat dimengerti mengapa mereka tidak menyukai kata itu sendiri.

Perlu dicatat bahwa Nabi Muhammad tidak hanya suci tetapi sangat berharga bagi semua Muslim. Banyak Muslim memeluk sekularisme yang tidak seperti ekstremis, namun Nabi Muhammad itu berharga bagi mereka. Muslim hanya meminta nilai-nilai mereka untuk ditoleransi seperti mereka diharapkan untuk mentolerir nilai-nilai Barat.

Menghina Muslim, menyinggung perasaan religius mereka dan memfitnah Islam bukan hanya sekedar kata-kata, mereka juga memicu emosi ketidaksukaan yang ekstrim, kebencian dan kekejian, yang akhirnya mengarah pada kejahatan kebencian. Seperti yang dikatakan Merkel, bahwa kebebasan berekspresi ada batasnya. Dan batasan itu dimulai di mana kebencian menyebar. Karena itu, perkataan Merkel tersebut seyogyanya selaras dengan sikap Prancis saat ini. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement