REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengingatkan dampak buruk penggunaan bahan bakar minyak (BBM) beroktan atau RON rendah. Dampak itu mulai dari pencemaran udara hingga gangguan kesehatan, termasuk penurunan tingkat kecerdasan.
“Dampaknya sangat buruk,” kata Manajer Kampanye Perkotaan dan Energi Walhi Nasional Dwi Sawung dalam keterangan kepada media di Jakarta, Sabtu (31/010.
Selain membuat pembakaran tidak sempurna dalam ruang bakar yang menyebabkan peningkatan emisi, ia mengatakan, BBM RON rendah juga berdampak buruk terhadap kesehatan. Di antaranya gangguan pada paru-paru yang membuat gangguan pada organ pernapasan.
“Terutama pada golongan rentan, seperti orang tua dan anak-anak. Dampak ini banyak ditemui di perkotaan. Mereka yang berjalan kaki pun bisa terpapar,” katanya.
Bahkan, menurut dia, begitu berbahayanya BBM RON rendah sampai-sampai pengguna mobil pribadi ber-AC dengan kaca tertutup pun, tak luput dari ancaman polusi di jalanan. “Masih bisa masuk ke dalam mobil. Ada partikel tertentu yang tetap masih bisa masuk ke dalam kendaraan,” katanya.
Ia menyatakan tidak hanya lingkungan dan kesehatan, BBM RON rendah juga berdampak buruk terhadap sisi ekonomi. Kerugian akibat penurunan kualitas udara dan gangguan kesehatan, misalnya, memiliki kompensasi biaya yang sangat mahal.
“Betapa besar kerugian ekonomi akibat penurunan kecerdasan anak-anak dan juga gangguan.kesehatan terhadap masyarakat,” ujarnya.
Dampak buruk tersebut, lanjutnya, karena sektor transportasi memang menjadi penyumbang yang cukup signifkan terhadap polusi udara. Sekitar 40 persen total emisi, merupakan kontribusi dari sektor tersebut. Dampak buruk makin dirasakan di berbagai kota besar, seperti Jakarta. “Dengan BBM RON rendah tentu polusi makin tinggi. Ada sulfur dan juga hidrokarbon yang jauh lebih banyak dibandingkan BBM RON tinggi,” katanya.
Mengingat berbagai dampak buruk itulah, menurut dia, mau tidak mau peralihan penggunaan BBM RON rendah menuju RON tinggi memang harus segera diimplementasikan. Apalagi secara aturan, sebenarnya penerapan sudah harus dilakukan pada tahun lalu.
“Kita sudah sangat terlambat. Aturan sudah dibuat, tetapi penegakan aturan yang sangat lemah bahkan tidak ada,” kata Dwi Sawung.