REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Karena sifat mazhab yang merupakan ijtihadi, maka bermazhab dari satu aliran mazhab tertentu tidak diwajibkan, meski ada sebagian kecil ulama yang mewajibkan konsistensi dalam bermazhab. Lantas apakah syariat itu tersambung ke Nabi?
Dalam buku Mazhabmu Rasulullah? karya Sutomo Abu Nashr dijelaskan, setiap umat Muslim dibebaskan memilih mazhabnya masing-masing. Jadi tidak diwajibkan untuk mengikuti mazhab A atau wajib mazhab B. Sehingga dalam realitanya, para ulama pun banyak yang melakukan perpindahan mazhab.
Sebagai contoh, ada Ibnu Syahnah yang berpindah ke mazhab Maliki, Qadhi Abu Ya’la yang pindah ke mazhab Hanbali. Lalu ada Abdil Hakam yang pindah ke mazhab Syafii walaupun pada akhirnya pindah kembali ke mazhab Maliki.
Begitu pun dengan yang dilakukan Ibnu Daqiq Al-Ied yang menganut mazhab Maliki dan pindah menjadi mazhab Syafii. Kemudian ada Al-Khatib Al-Baghdadi, Al-Amidi, Al-Munziri, Ibnu Burhan, dan Ibnu Nashr yang semuanya berpindah ke mazhab Syafii.
Lalu apakah syariat yang dilakukan para ulama yang berpindah mazhab ini sah? Tentu saja sah. Karena setiap mazhab sejatinya merupakan pendalaman dari ulama mazhab dalam mencari dasar ilmu yang bersumber langsung dari Rasulullah SAW. Dengan kehati-hatian, koreksi, dan penelitian yang ketat agar jangan sampai keraguan dalam memutuskan suatu hal yang bersifat syariat keluar dari apa yang diajarkan Nabi.