Sabtu 31 Oct 2020 19:53 WIB

Italia Menolak Disalahkan Terkait Pembunuhan di Nice

Pelaku pertama kali mendarat di Eropa lewat Italia.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Teguh Firmansyah
Polisi Prancis berjaga di dekat Gereja Notre Dame di Nice, selatan Prancis, Kamis, 29 Oktober. Presiden Prancis Emmanuel Macron menambah hingga 7.000 tentara untuk berjaga usai serangan pisau yang menewasakn tiga orang, Kamis.
Foto: Eric Gaillard/Pool via AP
Polisi Prancis berjaga di dekat Gereja Notre Dame di Nice, selatan Prancis, Kamis, 29 Oktober. Presiden Prancis Emmanuel Macron menambah hingga 7.000 tentara untuk berjaga usai serangan pisau yang menewasakn tiga orang, Kamis.

REPUBLIKA.CO.ID, ROMA --  Pemerintah Italia menolak disalahkan terkait warga Tunisia yang membunuh tiga orang di Nice, Prancis. Seperti diketahui, tersangka pertama kali masuk Eropa melalui Italia kemudian melanjutkan perjalanan ke Prancis.

Menteri Dalam Negeri Italia, Luciana Lamorgese, menyatakan tidak ada tangung jawab yang harus diberikan oleh pemerintah soal ini. Ketimbang saling mencari kesalahan, dia meminta setiap pihak untuk dekat dengan rakyat Prancis dan negara-negara Eropa lainnya. Sebab, peristiwa itu adalah serangan terhadap Eropa.

Baca Juga

Pernyataan Lamorgese muncul setelah pemimpin partai Liga anti-migran, Matteo Salvini, memimpin suara sayap kanan dan tengah yang menyerukan pengunduran dirinya. Dia menuduh Lamorgese dan Perdana Menteri Giuseppe Conte memegang tanggung jawab moral untuk serangan di Nice.

Mantan menteri dalam negeri ini mengkritik Pemerintah Italia karena mengizinkan masuknya pembunuh di Eropa.  Tersangka bernama Brahim Aouissaoui berusia 21 tahun. Tiba pada 20 September di Lampedusa, sebuah pulau Italia di tepi selatan Eropa. Tempat ini telah lama menjadi titik masuk pertama bagi imigran yang menyeberangi Laut Mediterania dalam upaya mencapai Eropa.

Setelah kedatangannya ke Lampedusa, Aouissaoui diisolasi dengan sekitar 800 orang lainnya di kapal karantina Rhapsody, dan kemudian dipindahkan ke kota daratan utama Bari. Larmorgese mengatakan, Aouissaoui sebelumnya tidak pernah ditandai sebagai potensi ancaman oleh otoritas Tunisia atau badan intelijen.

Seperti semua warga Tunisia yang memasuki Italia yang diklasifikasikan sebagai migran ekonomi, Aouissaoui diberi perintah untuk meninggalkan negara itu dalam tujuh hari mulai dari 8 Oktober. Namun, alih-alih pulang ke kampung halaman, dia menuju ke Prancis.

Lebih dari 27 ribu pengungsi dan migran mencapai Italia melalui laut dari 1 Januari hingga 29 Oktober. Jumlah tersebut terjadi peningkatan dibandingkan dengan 9.533 pada periode yang sama tahun 2019. Lebih dari 11 ribu pengungsi dan imigtan baru tiba dari Tunisia.

Profesor ilmu politik di Roma Tre University, Anna Simone, mengatakan peristiwa seperti penyerangan di Nice mengintensifkan kebencian terhadap migran dengan cara yang tidak pandang bulu. Peritiwa itu mengaitkan sosok migran menjadi salah satu teroris dengan konsekuensi yang sangat berbahaya.

“Jelas episode seperti itu kemudian dipergunakan oleh sayap kanan untuk mengkritik kebijakan migrasi saat ini,” kata penelitian kriminalisasi migran di media ini. Dwina Agustin

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement