REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Beberapa negara Muslim menggalang aksi boikot produk-produk buatan Prancis, menyusul sikap Presiden Emmanuel Macron yang justru membela tindakan penghinaan Nabi Muhammad SAW. Macron menyebutnya sebagai kebebasan berbicara.
Namun, respons yang ditunjukkan Macron pada 26 Oktober lalu, melalui cicitannya justru semakin memantik amarah umat Muslim. Macron menuliskan, "Kami (Prancis) tidak akan menyerah, selamanya. Kami menghormati semua perbedaan dalam semangat perdamaian. Kami tidak menerima perkataan yang mendorong kebencian dan mempertahankan debat yang wajar. Kami akan selalu berada di pihak martabat manusia dan nilai-nilai universal."
Menurut laporan State of the Global Islamic Economy, Prancis merupakan pengekspor obat-obatan terbesar kedua ke negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), dengan 4,4 miliar dolar AS atau sekitar Rp 64 triliun pada 2018. Selain itu, Prancis juga pengekspor kosmetik terbesar ke blok OKI pada 2018, dan menjual sekitar 2,6 miliar dolar AS atau sekitar Rp 37 triliun.
Prancis sendiri adalah mitra dagang terbesar kedelapan OKI. Sebagai sebuah blok, 57 negara anggota OKI membeli paling banyak dari China (2019: sekitar 319 miliar dolar AS), AS (sekitar 120 miliar dolar AS), dan India (sekitar 92 miliar dolar AS).
Di sisi lain, ritel di Kuwait mulai menarik produk Prancis dari rak mereka. Kepala Persatuan Masyarakat Koperasi Konsumen Kuwait mengatakan kepada Reuters produk tersebut dihapus sebagai tanggapan atas penghinaan berulang terhadap Nabi Muhammad. Supermarket di Qatar juga mulai menghapus produk Prancis sejak 24 Oktober lalu.
Kementerian luar negeri Yordania pada 24 Oktober merilis pernyataan yang mengutuk tindakan Prancis atas publikasi karikatur yang berkelanjutan dari Nabi dengan dalih kebebasan berekspresi. Pengguna media sosial di negara itu juga telah memulai kampanye yang menyerukan boikot produk Prancis.
Insiden kartun ini bukan satu-satunya yang memicu kemarahan Muslim Prancis. Sebelumnya, pada 2004, Prancis mulai menetapkan larangan penggunaan Jilbab di sekolah maupun di tempat bekerja. Pada 2010 negara itu mengesahkan undang-undang yang melarang penutup wajah penuh (niqab dan burqa) di depan umum, yang dipandang Muslim sebagai upaya mencegah wanita Muslim mengenakan penutup wajah. Pada 2016, burkini (pakaian renang muslimah) dilarang di tiga pantai Prancis.
Baru-baru ini, Presiden Macron pada 2 Oktober berjanji akan memberlakukan undang-undang yang lebih ketat untuk menangani apa yang disebutnya "separatisme Islam" dan mempertahankan nilai-nilai sekuler. Dia juga mengatakan, Muslim Prancis berada dalam bahaya membentuk masyarakat paralel dan menggambarkan Islam sebagai agama dalam krisis.
OKI pada 23 Oktober merilis sebuah pernyataan yang berisi keterkejutan atas wacana yang diungkapkan pemimpin Prancis tersebut, yang mereka anggap dapat membahayakan hubungan Muslim-Prancis. Sekretariat Jenderal OKI mengatakan sangat mengutuk praktik penistaan dan penghinaan terhadap Nabi SAW, Kristen, dan Yudaisme.