REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azhar Rasyid
JAKARTA -- Berbicara tentang para penulis sejarah atau sejarawan dalam sejarah Islam, pikiran kita biasanya akan langsung tertuju pada sosok Ibn Khaldun (1332-1406). Memang, Ibn Khaldun bisa dikatakan sebagai salah satu ilmuwan, khususnya di bidang sosiologi dan sejarah, yang paling terkenal di dalam sejarah Islam.
Karyanya, Muqaddimah, menjadi karya penting dalam memahami sejarah lahir, tumbuh dan hancurnya peradaban umat manusia. Gagasan-gagasannya juga menjadi ide yang terus dibahas oleh ilmuwan bahkan jauh setelah ia meninggal.
Sebenarnya, sebelum Ibn Khaldun telah ada seorang sejarawan besar lain dalam dunia Islam. Namanya Ibn Al-Athir (1160-1233).
Memang ia tidak seterkenal Ibn Khaldun, namun karya-karya sejarahnya tidak kalah signifikan. Bahkan tulisan Ibn Al-Athir masih dicetak ulang dan diterjemahkan di masa kini, menunjukkan besarnya pengaruh karyanya.
Nama lengkapnya ialah Izz Al-Dīn Abū Al-Asan Alī ibn Al-Athīr. Ia berasal dari sebuah keluarga Arab kaya dari Bani Shayban. Lahir pada 12 Mei 1160 di Jazirat Ibn Umar, Jazira, Turki, Ibn Al-Athir menimba ilmu di Mosul dan Baghdad.
Di masa mudanya ia belajar banyak subjek. Di bidang ilmu agama, ia belajar Hadits (terutama, di masa yang agak belakangan, sejarah Hadits), fikih dan tafsir.
Ilmu umum yang dipelajarinya mencakup matematika, bahasa, dan musik. Penulis biografi Ibn Al-Athir, Mahmood Ul-Hasan (2005), menyebut Ibn Al-Athir muda dikarunia kecerdasan, dengan pikiran yang tajam dan mudah dalam memahami.
Selain untuk belajar, masa muda Ibn Al-Athir muda juga diwarnai oleh pengalaman yang sama sekali berbeda dari yang sebelumnya ia jalani. Ia menjadi bagian dari pasukan Salahuddin Al-Ayyubi di Suriah pada 1188, tapi bukan sebagai serdadu di Perang Salib, melainkan pencatat peristiwa konflik, layaknya wartawan perang di masa kini.
Salahuddin kala itu sudah dikenal sebagai panglima perang Muslim terkenal yang tengah melawan pasukan Salib dan mempunyai pendukung di berbagai wilayah, termasuk di Irak, tempat di mana Ibn Al-Athir tinggal. Sekembalinya dari Suriah, Ibn Al-Athir menghabiskan waktu untuk bekerja dengan pemerintah di Mosul serta mengajar.
Ia menerima banyak murid dan berdiskusi dengan kolega dari keyakinan dan kelas sosial yang beragam. Di samping itu ia juga mengumpulkan banyak buku sejarah.
Berdasarkan pengetahuan, pengalaman dan bacaannya selama bertahun-tahun, ia mulai menulis tentang peristiwa-peristiwa sejarah. Al-Kamil fi Al-tarikh (Sejarah Lengkap) adalah karya utama Ibn Al-Athir.
Di sini ia memperlihatkan bakatnya yang luar biasa dalam merekonstruksi sejarah berdasarkan pengetahuan yang dipunyainya, terutama menyangkut tradisi Arab, serta satu buku sejarah penting kala itu, Tarikh At-Tabari. Buku Al-Kamil fi al-tarikh dibuka dengan bagian pendahuluan, yang bersifat abstrak dan fokus pada pandangan penulisnya terhadap sejarah, baik prinsip maupun filsafatnya. Ia menjelaskan juga metode penulisannya serta berbagai sumber yang dipakai untuk buku itu.
Salah satu bagian menarik dalam bagian ini ialah saat ia mengutip Surat Maryam ayat 98 yang berisi peringatan kepada umat Nabi Muhammad agar belajar dari masa lalu. Allah telah memusnahkan berbagai umat di masa silam, yakni umat yang sesat, membangkang dan tidak bersyukur pada-Nya. Dalam pandangan Ibn Al-Athir, ayat ini adalah suruhan agar orang belajar dari sejarah para pendahulunya.
Bagian selanjutnya mengulas sejarah panjang manusia, mulai sejak terciptanya Nabi Adam, era nabi-nabi, kehidupan Nabi Muhammad SAW, zaman para khalifah hingga peristiwa Perang Salib. Dinasti dan kekhalifahan besar Islam dikupasnya, contohnya Khulafaur Rasyidin (empat khalifah pasca-Nabi), Umayyah, Abbasiyah, Seljuk, Ayyubiyah, dan Fatimiyah.
Sejarah peradaban dan bangsa besar non-Arab juga menjadi perhatian Ibn AlAthir, termasuk Persia, Yunani, dan Romawi. Semua hal ini mencakup masa yang amat panjang dan tema yang sangat luas, sesuatu yang membuat buku Ibn Al-Athir ini sering disebut sebagai contoh dari sebuah kajian sejarah universal.
Ibn Al-Athir memusatkan perhatian pada peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah Islam. Dari berbagai peristiwa bersejarah ini, ia percaya para pembaca akan mendapat banyak manfaat, baik di dunia maupun di akhirat. Menurut Azmul Fahimi Kamaruzaman, dkk. (2015) yang mengulas filsafat sejarah Ibn Al-Athir, Ibn Al-Athir percaya bahwa sejarah memberi manfaat duniawi berupa pengetahuan tentang dunia dan tentang faktor yang memengaruhi pemikiran manusia.
Pengetahuan ini akan membawa manusia menjadi beradab. Di sisi lain, manfaat bagi akhirat dari belajar sejarah ialah agar manusia merenungkan dan mengambil pelajaran dari nasib yang menimpa generasi sebelumnya sehingga orang bisa selamat di hari akhir.
Selain Al-Kamil fi al-tarikh, karya Ibn Al-Athir yang lain mencakup biografi tokoh penting, baik di zaman sebelumnya maupun di eranya sendiri, mulai dari para gubernur (atabeg) hingga para penulis. Di masa kini, Ibn Al Athir masih diperbincangkan orang.
Sebagian mengkritik karyanya, namun tak sedikit juga yang memberikan apresiasi. Salah satu ensiklopedi terkemuka di dunia, Encyclopedia Britannica, menyediakan satu tema untuknya, dan menyebut dirinya “influential Arab historian” (sejarawan Arab yang berpengaruh).
Profesor di bidang pemikiran Abad Pertengahan di Universitas Monash, Australia, Constant J. Mews, menyebut karya Ibn Al Athir, al-Kamil fi al-tarikh, khususnya bagian tentang Perang Salib sebagai karya besar. Karya ini kemudian diterjemahkan ke bahasa Inggris dengan judul The Chronicle of Ibn Al-Athir for the Crusading Period from al-Kamil fi’l-tarikh.
Bagian Part 1: The Years 491-541/1097-1146 (Ashgate, 2006), adalah studi penting yang menjelaskan perang tersebut dari perspektif Muslim. Studi ini, lanjut Mews, memberikan keseimbangan pandangan tentang perang itu yang selama ini lebih banyak ditulis oleh penulis dan sarjana Kristen Eropa.
Azhar Rasyid, Penilik sejarah Islam
Sumber: Majalah SM Edisi 4 Tahun 2018
https://www.suaramuhammadiyah.id/2020/10/28/ibn-al-athir-sejarawan-terkemuka-abad-pertengahan-islam/