REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath, Ronggo Astungkoro
Tim pemantauan dan penyelidikan Komnas HAM RI dan Kantor Komnas HAM Perwakilan Papua telah menyelesaikan penyelidikan atas peristiwa kematian Pendeta Yeremia Zanambani di Distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, pada 19 September 2020 lalu. Berdasarkan temuan dan analisis peristiwa, Komnas HAM menyimpulkan, Pendeta Yeremia Zanambani ditembak dalam jarak dekat oleh Alpius, wakil Danramil Hitadipa, sebagai pelaku langsung yang melakukan penyiksaan dan atau extra judicial killing terhadap Pendeta Yeremia Zanambani.
"Diduga bahwa pelaku adalah Alpius, wakil Danramil Hitadipa, sebagaimana pengakuan langsung korban sebelum meninggal dunia kepada dua orang saksi dan juga pengakuan saksi-saksi lainnya yang melihat Alpius berada di sekitar TKP pada waktu kejadian dan tiga atau empat anggota lainnya," kata Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Choirul Anam, di Jakarta, Senin (2/11).
Anam mengungkapkan dugaan pelaku merupakan anggota TNI dari Koramil persiapan Hitadipa dilihat dari bekas luka tembakan yang diduga dengan jarak kurang dari satu meter, ruang terbatas pada kandang babi, tembakan berasal dari senjata api jenis shot gun atau pistol atau jenis lainnya yang memungkinkan digunakan dalam ruang tersebut. Dengan melihat kronologi atas peristiwa yang dialami Pendeta Yeremia Zanambani, patut diduga terdapat perintah pencarian senjata yang telah dirampas pada peristiwa pada 17 September dan anggota TPNB/OPM.
"Pemberi perintah ini patut diduga merupakan pelaku tidak langsung, " kata Anam.
Pendeta Yeremia diduga ditembak menggunakan senjata laras pendek saat berlutut. Tak hanya itu, Pendeta Yeremia juga diduga mengalami tindakan kekerasan lain berupa jeratan, baik menggunakan tangan ataupun alat berupa tali dan lainnya untuk memaksa korban berlutut yang dibuktikan dengan jejak abu tungku yang terlihat pada lutut kanan korban.
"Dan atau kematian pendeta Yeremia dilakukan dengan serangkaian tindakan yang mengakibatkan hilangnya nyawa di luar proses hukum atau extra judicial killing, " ujar Anam.
Komnas HAM juga menduga Pendeta Yeremia sudah menjadi target atau dicari oleh terduga pelaku dan mengalami penyiksaan dan atau tindakan kekerasan lainnya untuk memaksa keterangan dan atau pengakuan dari korban atas keberadaan senjata yang dirampas TPNPB/OPM maupun keberadaan anggota TPNPB/OPM lainnya. Hal ini secara tegas disampaikan Alpius, anggota TNI Koramil Hitadipa, yang menyebutkan nama Pendeta Yeremia Zanambani sebagai salah satu musuhnya.
"Pendeta Yeremia Zanambani juga cukup vokal dalam menanyakan keberadaan hilangnya dua orang anggota keluarganya kepada pihak TNI," tutur Anam.
Komnas HAM juga menyimpulkan bahwa terdapat upaya mengalihkan atau mengaburkan fakta-fakta peristiwa penembakan di TKP berupa sudut dan arah tembakan yang tidak beraturan. Hal itu dibuktikan dengan banyak titik lubang tembakan dengan diameter yang beragam, baik dari luar TKP yakni sekitar pohon, di bagian luar dan dalam serta bagian atap/seng kandang babi.
Komnas HAM juga menyimpulkan bahwa terdapat barang bukti berupa pengambilan proyektil peluru dari lubang kayu balok di TKP yang tidak diketahui keberadaannya saat ini. Selain itu terdapat upaya agar korban segera dikuburkan tidak lama setelah kejadian juga sebagai upaya untuk tidak dilakukan pemeriksaan terhadap jenazah korban untuk menemukan penyebab kematian.
"Kami juga menyimpulkan terdapat fakta pendekatan keamanan yang melanggar hukum dan tata kelola keamanan yang kurang tepat di Hitadipa atau wilayah Intan Jaya secara umum," ungkap Anam. "Salah satu contohnya adalah menggunakan msyarakat menjadi bagian dari kekerasan bersenjata, menstigma yang menimbulkan rasa ketakutan dan ketidak percayaan," tambah Anam.
Dari hasil investigasi, Komnas HAM menemukan setidaknya terdapat 19 titik lubang dari 14 titik tembak pada bagian luar dan dalam kandang babi, maupun pada atap kandang dan luka pada pohon akibat tembakan.
Sementara berdasarkan penghitungan jarak tembak dengan posisi lubang peluru, diperkirakan jarak tembak berkisar sembilan meter hingga 10 meter yang berasal dari luar kandang dan diarahkan ke TKP maupun sekitar TKP. "Arah dan sudutnya pun tampak tidak beraturan atau acak," kata Anam.
Komnas HAM menduga kuat adanya unsur kesengajaan dalam membuat arah tembakan yang acak atau tidak beraturan dan tidak mengarah pada sasaran. Kesengajaan tersebut untuk mengaburkan fakta peristiwa penembakan yang sebenarnya.
Di tempat kejadian perkara, juga ditemukan bekas-bekas tembakan di dinding gubuk tempat korban ditemukan dan proyektil peluru. Namun dari Polri belum menjelaskan keberadaan peluru yang ada di lubang kayu balok.
"Terdapat bekas congkelan proyektil peluru pada balok. Polri hanya memberikan penjelasan menemukan proyektil peluru di sekitar tungku, " ungkap Anam.
Anam menuturkan, tim menemukan fakta-fakta peristiwa antara lain terdapat rangkaian peristiwa menjelang kematian Pendeta Yeremia Zanambani. Peristiwa tersebut terjadi pada 17 September hingga 19 September 2020 siang.
"Laporan disusun dari seluruh temuan, merekonstruksi peristiwa dengan melakukan olah tempat kejadian peristiwa (TKP), sudut, lubang dan jarak tembak, mengidentifikasi karakter tembakan, permintaan keterangan saksi-saksi dan informasi terkait lainnya serta mengujinya dengan keterangan ahli," kata Anam.
Dari hasil temuan, penembakan terhadap Pendeta Yeremia Zanambani berawal dari penembakan dan kematian Serka Sahlan serta perebutan senjatanya yang mendorong penyisiran dan pencarian terhadap senjata yang dirampas oleh TPNPB/OPM. Bahkan, sebanyak dua kali, yaitu sekitar pukul 10.00 WIT dan 12.00 WIT warga Hitadipa dikumpulkan dalam pencarian senjata dan mengirim pesan agar senjata segera dikembalikan dalam kurun waktu dua-tiga hari.
"Dalam pengumpulan massa tersebut, nama (mendiang) Pendeta Yeremia Zanambani disebut-sebut beserta lima nama lainnya dan dicap sebagai musuh salah satu anggota Koramil di Distrik Hitadipa," ungkap Anam.
Tak lama setelah pengumpulan, sekitar pukul 13.10 WIT, terjadi penembakan terhadap salah seorang anggota Satgas Apter Koramil di pos Koramil Persiapan Hitadipa atas nama Pratu Dwi Akbar Utomo. Pratu Dwi Akbar dinyatakan meninggal dunia pada pukul 16.45 WIT setelah dievakuasi ke RSUD Kabupaten Intan Jaya.
Sementara tim lainnya yang terdapat Alpius Hasim Madi diduga melakukan operasi penyisiran guna mencari senjata api yang dirampas. Penembakan Pratu Dwi Akbar juga memicu rentetan tembakan hingga sekitar pukul 15.00 WIT.
"Penyisiran saudara Alpius dan pasukannya juga dilihat oleh warga sekitar, termasuk di antaranya istri korban mendiang Pendeta Yeremia yaitu Mama Miryam Zoani," terang Anam.
Bahkan Alpius disebut menuju kandang babi sekitar waktu penembakan terhadap korban. Di saat bersamaan, juga terdapat pembakaran terhadap rumah dinas kesehatan Hitadipa karena diduga sebagai asal tembakan terhadap Pratu Dwi Akbar atau lokasi persembunyian TPNPB/OPM. "Setidaknya, dua orang saksi melihat api dan asap, serta sisa bara api dari lokasi kebakaran. Sekitar pukul 17.50 WIT, korban ditemukan istri korban di dalam kandang babi dengan posisi telungkup dan banyak darah di sekitar tubuh korban. Di lengan kiri korban terdapat luka terbuka dan mengeluarkan darah, " ujar Anam.
Dari hasil investigasi Komnas HAM, kematian Pendeta Yeremia bukan disebabkan langsung akibat luka di lengan kirinya ataupun luka yang disebabkan tindak kekerasan lainnya. Menurut Ahli, penyebab kematian korban karena kehabisan darah.
Hal ini dilihat dari luka pada tubuh korban yang bukan di titik yang mematikan dan korban masih hidup kurang lebih lima sampai enam jam pascaditemukan. Komnas HAM juga meyakini adanya potensi sayatan benda tajam lainnya pada lengan kiri korban.
Diduga kuat adanya penyiksaan dan atau tindakan kekerasan lainnya dilakukan terduga pelaku yang bertujuan meminta keterangan atau pengakuan dari korban, bisa soal senjata yang hilang atau keberadaan TPNPB/OPM. Kondisi tubuh yang dialami Pdt. Yeremia juga ditemukan luka terbuka maupun luka akibat tindakan lain.
"Luka pada lengan kiri bagian dalam korban dengan diameter luka sekitar lima-tujuh cm dan panjang sekitar 10 cm merupakan luka tembak yang dilepaskan dalam jarak kurang dari 1 meter dari senjata api. Meskipun demikian, tim berkeyakinan bahwa luka tersebut juga dimungkinkan akibat adanya kekerasan senjata tajam lainnya, karena melihat posisi ujung luka yang simetris, " terang Anam.
Selain itu, juga potensial ditemukan tindakan lain berupa jejas intravital pada leher, luka pada leher bagian belakang berbentuk bulat dan pemaksaan korban agar berlutut untuk mempermudah eksekusi. Diduga terdapat kontak fisik langsung antara korban dengan terduga pelaku saat peristiwa terjadi.
Akhir bulan lalu, Kodam XVII Cenderawasih melakukan penyelidikan lebih lanjut atas peristiwa meninggalnya Pendeta Yeremia Zanambani. Jika memang terbukti ada anggota TNI yang terlibat, maka akan diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.
"Terkait permasalahan tersebut, sampai dengan saat ini Pihak Kodam XVII Cenderawasih masih melaksanakan penyelidikan lebih lanjut," ungkap Kepala Penerangan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan III, Kol Czi IGN Suriastawa, kepada Republika, Kamis (29/10).
Dia menyampaikan, jika memang terbukti terdapat anggota TNI yang terlibat, maka akan diproses sesuai dengan ketentuan dan hukum yang berlaku. Suriastawa juga mengatakan, dia tak masalah dengan kesimpulan apa saja yang dibuat oleh laporan-laporan terkait hasil investigasi kasus tersebut.
"Sah-sah saja kalau orang berpendapat, kesimpulan apa lagi yang mau dibuat. Hanya Tuhan yang tahu kebenarannya," kata dia.
Hanya saja, dia menyayangkan setiap saat cerita yang ada selalu berbeda antara satu dengan lainnya. Dia menjelaskan, ada yang menyatakan pendeta dibunuh di depan jamaahnya, ada yang menyebut istrinya saat menemukan pendeta di mana pendetanya sudah meninggal, dan teranyar menyebut pendeta ditemukan belum meninggal.
"Ada yang bilang istrinya saat ketemu pendeta di mana pendetanya sudah meninggal, sekarang bilang pendeta ditemukan belum meninggal. Terserah saja mau buat cerita apa," jelas dia.