REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Korea Selatan tahun ini menerima 164 pencari suaka dari hampir 6.000 orang yang melamar meskipun diberlakukan pembatasan perjalanan akibat virus corona. Imigrasi adalah masalah yang diperdebatkan di Korea Selatan.
Di negara itu, banyak orang yang bangga dengan homogenitas etnis, bahkan ketika populasinya yang berjumlah 51 juta jiwa menua dengan cepat dan angkatan kerja menyusut. Angka 5.896 pelamar untuk status pengungsi antara Januari dan Agustus turun sekitar 36 persendari periode yang sama tahun lalu, berdasarkan data dari Kementerian Kehakiman Korea Selatan pekan lalu.
Rusia menduduki puncak daftar pelamar dengan hampir 18 persen, diikuti oleh orang-orang dari Mesir, Kazakhstan, Malaysia, dan India. Hanya sekitar empat persen dari 4.019 orang yang menyelesaikan proses penyaringan diterima atau diberikan tempat tinggal karena alasan kemanusiaan, meskipun tidak diakui sebagai pengungsi. Angka tersebut kurang dari enam persen pada 2019 dan 16 persen pada 2018.
Korea Selatan mulai menerima aplikasi pengungsi pada 1994, sejalan dengan konvensi pengungsi PBB. Jumlah pencari suaka ke Korsel telah meningkat tajam sejak negara itu menjadi yang pertama di Asia yang mengadopsi undang-undangnya sendiri terkait pengungsi pada 2013. Jumlah tersebut mencapai puncaknya pada 2018, yaitu 16.173 orang.
Namun, pemerintah menahan diri setelah lonjakan tiba-tiba kedatangan warga Yaman di pulau resor selatan Jeju pada saat itu memicu kekhawatiran atas kemungkinan peningkatan kejahatan dan penyakit sosial lainnya. Para pembelot dari negara tetangga Korea Utara tidak dianggap sebagai pencari suaka dan secara otomatis menerima kewarganegaraan.
Di Eropa, meskipun permohonan suaka juga anjlok tahun ini di tengah penutupan perbatasan karena virus, banyak negara telah melindungi ratusan ribu pengungsi yang dilanda perang dan kemiskinan. Tetapi hanya sedikit negara Asia, termasuk Jepang, yang tertarik untuk menerima lebih banyak pengungsi.
Human Rights Watch yang berbasis di New York mengkritik kebijakan pengungsi Seoul yang ketat tahun ini, mendesak lebih banyak penerimaan dan transparansi dalam tinjauan aplikasi.