Senin 02 Nov 2020 16:22 WIB

Inflasi Inti Turun, BPS: Daya Beli Masih Lemah

40 persen lapisan masyarakat terbawah mengalami penurunan daya beli.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolandha
Pengunjung beraktivitas di pusat perbelanjaan Lippo Mall Kemang, Jakarta, Sabtu (31/10). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tingkat inflasi inti pada bulan lalu mencapai 0,04 persen. Realisasi ini turun signifikan dibandingkan beberapa bulan terakhir, seperti Agustus dan September yang masing-masing berada di level 0,29 persen dan 0,13 persen.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Pengunjung beraktivitas di pusat perbelanjaan Lippo Mall Kemang, Jakarta, Sabtu (31/10). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tingkat inflasi inti pada bulan lalu mencapai 0,04 persen. Realisasi ini turun signifikan dibandingkan beberapa bulan terakhir, seperti Agustus dan September yang masing-masing berada di level 0,29 persen dan 0,13 persen.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tingkat inflasi inti pada bulan lalu mencapai 0,04 persen. Realisasi ini turun signifikan dibandingkan beberapa bulan terakhir, seperti Agustus dan September yang masing-masing berada di level 0,29 persen dan 0,13 persen.

Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan, inflasi inti kerap digunakan sebagai indikator daya beli masyarakat secara keseluruhan. "Secara umum, saya menyimpulkan, inflasi inti menunjukkan bahwa daya beli belum pulih," tuturnya dalam konferensi pers secara virtual, Senin (2/11).

Baca Juga

Rendahnya inflasi inti tidak hanya terjadi pada bulan lalu. Pada Juni, tingkat inflasi inti bahkan sempat mencapai 0,02 persen yang sekaligus menjadi level terendah sepanjang Januari-Oktober.  

Meski demikian, Suhariyanto menjelaskan, penyebab inflasi inti yang rendah ini bukan semata-mata karena kemampuan konsumsi masyarakat. Karakteristik dan perilaku kelompok rumah tangga yang  berbeda-beda pada masa pandemi Covid-19 menjadi faktornya.

Suhariyanto menuturkan, 40 persen lapisan masyarakat terbawah memang mengalami penurunan daya beli. Sebagian di antara mereka harus terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) maupun dirumahkan akibat tekanan ekonomi di tengah pandemi.

"Mereka alami penurunan upah, sehingga daya belinya pu menunjukkan penurunan," ucapnya.

Di sisi lain, Suhariyanto menambahkan, masyarakat menengah ke atas cenderung menahan konsumsi. Mereka memilih menabung atau berinvestasi untuk menghadapi ketidakpastian yang masih tinggi. Langkah ini turut memberikan andil pada penurunan inflasi inti.

Pada bulan lalu, komponen inflasi inti memberikan kontribusi 0,03 persen terhadap inflasi umum yang sebesar 0,07 persen. Andil terbesar diberikan oleh komponen bergejolak, yaitu 0,07 persen, yang mengalami inflasi 0,40 persen.

Secara keseluruhan, kenaikan harga bawang merah dan cabai merah menjadi faktor utama terjadinya inflasi Oktober. Sementara andil bawang merah mencapai 0,09 persen, komoditas bawang merah memberikan kontribusi 0,02 persen terhadap inflasi Oktober.

Gejolak harga komponen bahan makanan ini patut diwaspadai mengingat curah hujan yang masih tinggi hingga akhir tahun sebagai dampak La Nina. "Untuk sayuran, harus berhati-hati. Kalau tidak, akan terjadi fluktuasi harga seperti cabai merah dan bawang merah," kata Suhariyanto.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement