Selasa 03 Nov 2020 05:23 WIB

Ekonom: Inflasi Bulan Lalu Disebabkan Gejolak Harga Pangan

Basis perhitungan harga jadi sangat rendah dan besar kemungkinannya untuk inflasi.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolandha
Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Nailul Huda menjelaskan, inflasi yang terjadi pada bulan lalu tidak memberikan gambaran penuh terhadap daya beli masyarakat. Inflasi lebih banyak dikarenakan gejolak harga komoditas pangan.
Foto: ANTARA/Rivan Awal Lingga
Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Nailul Huda menjelaskan, inflasi yang terjadi pada bulan lalu tidak memberikan gambaran penuh terhadap daya beli masyarakat. Inflasi lebih banyak dikarenakan gejolak harga komoditas pangan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Nailul Huda menjelaskan, inflasi yang terjadi pada bulan lalu tidak memberikan gambaran penuh terhadap daya beli masyarakat. Inflasi lebih banyak dikarenakan gejolak harga komoditas pangan.

Selain itu, setelah terjadi deflasi selama tiga bulan berturut-turut sejak Juli sampai September. Artinya, basis perhitungan harga menjadi sangat rendah dan sangat besar kemungkinannya untuk inflasi.

Baca Juga

Dengan dua faktor tersebut, Nailul menjelaskan, inflasi pada Oktober sebenarnya sudah diperkirakan oleh berbagai pihak. "Jadi, sebenarnya, inflasi yang terjadi belum menunjukkan daya beli masyarakat yang sudah atau belum pulih," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Senin (2/11).

Berdasarkan data yang disampaikan Badan Pusat Statistik (BPS), Senin, tingkat inflasi pada bulan lalu berada di level 0,07 persen. Kenaikan harga bawang merah dan cabai merah di berbagai daerah disebut sebagai faktor utamanya.

Kenaikan harga cabai merah terjadi di 82 kota Indeks Harga Konsumen (IHK) yang dipantau BPS. Kenaikan tertinggi terjadi di Bulukumba, Sulawesi Selatan, yaitu hingga 85 persen. Kontribusinya mencapai 0,09 persen terhadap inflasi bulan lalu,

Sementara itu, bawang merah mengalami kenaikan harga di 70 kota IHK dengan Lhokseumawe menjadi kota yang mencatatkan kenaikan tertinggi, sampai 33 persen. Tren ini memberikan andil 0,02 persen terhadap inflasi.

Huda mengatakan, tren kenaikan harga barang pangan ini harus diantisipasi oleh pemerintah. Sebab, curah hujan selama dua bulan ke depan diperkirakan semakin tinggi yang akan berdampak pada produksi dan ketersediaan di pasaran. "Kita patut waspada ada kenaikan beberapa komoditas harga bergejolak," ujarnya.

Secara tahunan, Huda menilai, tingkat inflasi tidak akan mampu meningkat secara signifikan. Ia memproyeksikan, laju inflasi sampai akhir tahun ‘mentok’ di angka dua persen. Dua bulan terakhir di tahun ini tidak akan menolong banyak angka inflasi karena faktor cuaca dan penurunan daya beli masyarakat.

Di luar pandemi Covid-19, Huda menjelaskan, tingkat inflasi pada November dan Desember relatif tinggi. Hal ini dikarenakan ada peningkatan permintaan barang seiring dengan pemberian bonus tahunan dan beberapa perayaan seperti Hari Raya Natal dan Tahun Baru.

Tapi, pada masa pandemi saat ini, pendapatan masyarakat terganggu karena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ataupun produksi perusahaan yang berkurang. "Jadi, kemungkinan besar bulan Desember terjadi inflasi, namun November masih tergantung cuaca," ujar Huda.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement