REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian menyebutkan, inflasi yang terjadi bulan lalu menunjukkan tingkat permintaan masyarakat yang sudah mulai pulih. Hal ini didukung dengan peningkatan dalam indikator Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang naik setelah sempat turun pada September.
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian Iskandar Simorangkir menjelaskan, salah satu indikatornya terlihat pada inflasi inti yang masih berada di level 0,04 persen. Meskipun turun dibandingkan bulan-bulan lalu, tingkat inti inflasi terbilang positif. Sebab, level tersebut bisa dicapai di tengah penurunan harga emas yang selama ini biasa menjadi penyumbang inflasi inti.
"Artinya, real demand sudah mulai meningkat," ujar Iskandar ketika dihubungi Republika.co.id, Senin (2/11).
Di sisi lain, Iskandar menambahkan, PMI Manufaktur Indonesia naik dari level 47,2 pada September menjadi 47,8 pada bulan lalu. Walau masih di bawah batas kontraksi, 50, kenaikan tipis ini patut diapresiasi sebagai pemulihan di sektor pengolahan.
Iskandar memproyeksikan, permintaan dan suplai agregat akan terus meningkat hingga akhir tahun. Tapi, hal ini bisa terealisasi apabila tidak ada daerah yang melakukan pengetatan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
"Aggregate demand dan supply ini bisa terus meningkat sejalan percepatan belanja APBN, Pemulihan Ekonomi Nasional dan APBD serta membaiknya perekonomian global," tuturnya.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, inflasi pada Oktober sebesar 0,07 persen dengan tingkat inflasi inti sebesar 0,04 persen. Realisasi inflasi inti turun signifikan dibandingkan beberapa bulan terakhir, seperti Agustus dan September yang masing-masing berada di level 0,29 persen dan 0,13 persen.
Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan, inflasi inti kerap digunakan sebagai indikator daya beli masyarakat secara keseluruhan. “Secara umum, saya menyimpulkan, inflasi inti menunjukkan bahwa daya beli belum pulih,” tuturnya dalam konferensi pers secara virtual, Senin.
Memperbaiki daya beli masyarakat di masa pandemi Covid-19 menjadi prioritas utama pemerintah saat ini. Salah satunya dilakukan dengan mendorong sisi permintaan melalui realisasi bantuan sosial seperti program subsidi gaji dan semi bansos seperti Kartu Prakerja.
"Daya beli memang masih rendah, kita melihat bahwa ini yang harus kita perhatikan," tutur Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam keterangan resmi yang diterima Republika, Senin.
Subsidi gaji atau upah dianggarkan sebesar Rp 37,87 triliun dengan manfaat Rp 2,4 juta per pekerja. Targetnya adalah 15,7 juta pekerja yang masih menerima gaji dan aktif membayarkan iuran kesehatan.
Pemerintah juga mengeluarkan berbagai bantuan kepada pelaku usaha, misalnya kebijakan insentif perpajakan, subsidi bunga Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), penempatan dana pada bank, dan penjaminan kredit UMKM. Masih ke UMKM, pemerintah juga memberikan banpres produktif.
Pembiayaan investasi kepada korporasi, penjaminan kredit korporasi, dan Penyertaan Modal Negara (PMN) dan pemberian pinjaman BUMN turut dilakukan.
Ke depan, Airlangga menekankan, strategi pemulihan ekonomi akan didorong melalui sektor makanan dan minuman, tekstil, automotif, kimia, elektronik, farmasi, dan alat kesehatan. "Ini juga didorong untuk melakukan substitusi impor dan peningkatan hilirisasi, sehingga masyarakat atau petani mendapatkan nilai tukar yang lebih baik," katanya.