REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Tobacco Control Support Center (TCSC) Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Sumarjati Arjoso mengatakan sosialisasi dan penyuluhan terkait bahaya rokok harus sampai atau menyasar hingga ke tingkat komunitas keluarga. "Pembelajaran tentang bahaya rokok ini harus sampai ke sasaran," kata dia saat diskusi daring dengan tema Rapat Koordinasi Peningkatan Efektifitas Perlindungan Anak dari Paparan Rokok yang dipantau di Jakarta, Senin (2/11).
Setelah penyuluhan itu dilakukan di kelompok keluarga, kata dia, maka dilanjutkan ke tingkat pendidikan yang dimulai dari pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga sekolah menengah atas. Apalagi, ujar dia, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memiliki 12 indikator keluarga sehat dan salah satunya anggota keluarga tidak ada yang merokok.
Karena itu, penyuluhan tersebut selaras bila diterapkan secara bersamaan. Perlunya penyuluhan bahaya rokok hingga ke tingkat keluarga, menurut Sumarjati, karena saat ini banyak masyarakat tidak terjangkau atau tersentuh edukasi terkait hal itu secara langsung.
Karena itu, kata dia, perlu ada instansi atau tenaga khusus yang datang langsung melakukan penyuluhan bahaya rokok kepada keluarga di daerah masing-masing. Dulu, ujarnya, edukasi tentang bahaya rokok dilakukan langsung oleh Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) yang memberikan pengetahuan bahaya rokok bagi anak didik.
"Tapi saya tanya sekarang katanya UKS itu sulit datang ke sekolah," ujar dia.
Ia menyakini dengan memberdayakan tenaga kesehatan yang menyosialisasikan bahaya rokok secara masif bisa menekan angka perokok pemula yang berkisar pada rentang usia 15 hingga 19 tahun di Indonesia.
Bahkan, upaya itu perlu juga digalakkan pada anak usia dini. Sebab, di Indonesia, anak-anak usia 10 tahun juga sudah banyak yang mulai merokok.
Hal itu diperkuat dengan data anak usia lima hingga sembilan tahun yang merokok berkisar 2,5 persen. Kemudian usia 10 hingga 14 tahun sebanyak 23 persen dan 15 hingga 19 tahun 52,3 persen.
Meskipun sudah ada bermacam cara yang dilakukan pemerintah dalam menekan bahaya rokok, terutama pada anak, salah satunya melalui peraturan daerah kawasan tanpa rokok (Perda KTR). Namun, hal itu belum bisa bekerja maksimal.
Karena itu, ia berpandangan perlu aturan yang lebih tegas lagi dalam menyosialisasikan bahaya asap rokok kepada masyarakat agar dapat dipatuhi bersama.