Senin 02 Nov 2020 19:25 WIB

Pemprov DKI Susun Kriteria Perusahaan Boleh tak Naikkan UMP

Pemprov DKI susun kriteria perusahaan yang boleh tak naikan UMP 2021.

Rep: Flori Sidebang / Red: Bayu Hermawan
Gubernur DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan
Foto: Republika/Flori Sidebang
Gubernur DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan mengatakan, Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi (Disnakertrans) DKI Jakarta masih menyusun kriteria sektor usaha yang mengalami dampak akibat pandemi Covid-19, dan tidak perlu menaikkan upah minimum provinsi (UMP) pada 2021. Nantinya, sektor usaha yang masuk kriteria dapat tetap menerapkan UMP 2020 sebesar Rp 4.276.349.

"Kriteria persyaratan disusun melalui keputusan kepala dinas," kata Anies di Gedung DPRD DKI, Jakarta Pusat, Senin (2/11).

Baca Juga

Anies menjelaskan, perusahaan yang terdampak Covid-19 dapat mengajukan permohonan ke Disnakertrans DKI Jakarta untuk tidak menaikkn UMP. Setelah pengajuan diterima, Disnakertrans DKI Jakarta akan menentukan apakah perusahaan tersebut boleh tak menaikkan UMP atau justru harus menaikkan UMP.

"Cukup dengan menunjukkan kondisi perusahaannya," ujarnya.

Seperti diketahui, Pemprov DKI Jakarta memutuskan untuk menaikkan UMP 2021 sebesar 3,27 persen atau menjadi Rp 4.416.186,548. Namun, kenaikan itu tidak dilakukan secara merata ke seluruh sektor usaha atau disebut kebijakan asimetris.

Menurut Anies, ada beberapa sektor usaha yang terpuruk di masa pandemi Covid-19. Sementara itu, adapula perusahaan pendapatannya meningkat selama pandemi sehingga dinilai mampu menaikkan UMP. 

Di sisi lain, Kepala Disnakertrans DKI Jakarta, Andri Yansyah menjelaskan, mekanisme penetapan sektor usaha yang terdampak dan tidak terdampak Covid-19 berdasarkan permohonan yang diajukan oleh perusahaan. Setelah itu, pihak Disnakertrans akan melakukan kajian terhadap permohonan yang diajukan.

"Jadi, penetapannya itu berdasarkan permohonan ataupun usulan dari perusahaan tersebut, sehingga nanti kami melakukan pengkajian apakah perusahaan tersebut terdampak atau tidak," kata Andri saat webinar melalui Zoom.

Dia menyebut, kajian itu akan dibantu oleh dewan pengupahan yang terdiri dari unsur pemerintah dan perusahaan. Dari pihak pemerintah, jelas dia, ada Biro Perekonomian, Dinas Kesehatan, Dinas Perhubungan, Badan Pusat Statistik (BPS), akademisi, dan biro hukum. Kemudian, dari unsur pengusaha, ada Apindo, Kadin, dan serikat pekerja.

"Ini yang akan kita minta bantu kaji mana yang terdampak, mana yang tidak. Ini sejalan sebenarnya dengan yang kita lakukan selama PSBB, kan bisa lihat mana yang tetap beroperasi, itu kan tidak terdampak," jelasnya.

Adapun kenaikan UMP itu tertuang dalam Pergub Nomor 103 tahun 2020 tentang Upah Minimum Provinsi (UMP) Tahun 2021. Dalam Pasal 1 ayat 2 Pergub itu tercantum bahwa UMP sebesar Rp 4.416.186,548 mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2021.

Menurut Andri, apabila perusahaan yang pendapatannya terdampak Covid-19 tapi tidak mengajukan permohonan sebelum tanggal tersebut, maka dianggap mampu mengikuti kebijakan kenaikan UMP.

"Di samping menetapkan kriteria, kita kan tetapkan kriteria dengan dewan pengupahan. kan bareng-bareng. Tapi memutus dia terdampak atau tidak berdasarkan usulan perusahaan tersebut," jelasnya.

"Kalau enggak usulkan berarti dia tidak terdampak. Kalau terdampak dia harus mengajukan (permohonan) supaya kami menerangkan bahwa perusahaannya terdampak," sambungnya.

Selain menetapkan kriteria bersa dewan pengupahan dan mengajukan permohonan, kata Andri, pihaknya juga akan menggunakan data selama PSBB untuk menentukan apakah suatu sektor usaha terdampak pandemi atau tidak. Menurutnya, sektor usaha yang tidak beroperasi selama PSBB tidak perlu melewati tahap pengkajian untuk menentukan bahwa pendapatan perusahaan itu mengalami penurunan.

Ia mencontohkan, sejumlah sektor usaha yang pendapatannya anjlok akibat Covid-19 adalah mal, hotel, pariwisata, properti, ritel, dan perdagangan makan minum. Sedangkan perusahaan telekomunikasi, jasa keuangan, dan kesehatan merupakan beberapa sektor usaha yang tidak terdampak pandemi.

"Tapi untuk perusahaan-perusahaan yang saya sampaikan, kalau sudah jelas (terdampak Covid-19), enggak usah lagi lakukan pengkajian. Kalau mal, itu jelas enggak operasional, enggak perlu kaji-kaji. Data pengawasan PSBB bisa jadi data untuk tentukan apa perusahaan itu terdampak. Kita enggak akan persulit," ujarnya menambahkan.

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement