REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Sejumlah entitas Islam Eropa meminta Presiden Prancis Emmanuel Macron untuk mempertimbangkan kembali retorikanya yang bersifat ofensif terhadap Muslim. Hal itu disampaikan oleh organisasi dan institusi Muslim di seluruh Eropa dalam sebuah surat yang dikirimkan kepada Macron pada Selasa (3/11).
Sebanyak 28 penandatanganan terlibat dalam proyek yang disebut 'Surat Terbuka untuk Presiden Macron' tersebut. Di antara lembaga yang terlibat adalah African Diaspora Youth Forum in Europe (ADYFE), Muslim Association of Britain Youth (MABY), Etudiants Musulmans de France (EMF), dan S.P.E.A.K (Muslim Women’s Collective) The Netherlands.
Mereka bersatu dalam apa yang mereka pandang sebagai serangan oleh Macron dan lainnya terhadap agama dan Nabi Muhammad. Dalam surat terbuka itu, institusi Islam tersebut mengatakan Macron tidak menggunakaan kebijaksanaan atau kepemimpinan moral dalam menanggapi peristiwa baru-baru ini, yang telah meningkatkan ketegangan dan serangan di seluruh dunia.
Dikatakan, bahwa pembunuhan mengerikan terhadap seorang guru bernama Samuel Paty dan serangan di sebuah gereja di Nice, Prancis, telah menuai kecaman dan empat dari masyarakat di seluruh dunia. Kondisi tersebut menurut mereka adalah saat di mana warga Prancis memandang Macron agar memberikan kepemimpinan moral yang kuat.
Namun, sayangnya, tidak ada kebijaksanaan atau kepemimpinan moral dalam tanggapan Macron. Sementara itu, mereka menyatakan bahwa memfitnah Islam dan warga Muslim Prancis sendiri, menutup masjid arus utama, organisasi Muslim dan hak asasi manusia, dan menggunakan insiden itu sebagai kesempatan untuk membangkitkan kebencian lebih lanjut, telah memberikan dorongan lebih jauh untuk rasis dan ekstremis brutal.
"Kata-kata dan tindakan Anda sendiri bertentangan dengan prinsip laicite, serta Konstitusi Prancis tahun 1958, yang menyatakan bahwa 'semua warga negara terlepas dari asal, ras, atau agama mereka diperlakukan sama di hadapan hukum dan menghormati semua keyakinan agama (atau ketiadaan)'," demikian bunyi surat yang ditemukan secara daring tersebut, dilansir di Al Araby, Selasa (3/11).
Dokumen tersebut lantas mengecam perilaku oportunistik Macron, yang dinilai sebagai pelanggaran terhadap hukum Prancis. Dalam suratnya, para institusi Islam Eropa juga menyebut Macron menggunakan mekanisme negara dan layanan keamanan dari Negara Prancis untuk menyebarkan tuduhan fitnah yang tidak berdasar. Tidak hanya itu, Macron juga dikatakan menyerang organisasi sipil, menutup masjid, dan menutup organisasi yang sah. Tindakan Macron tersebut dipandang sebagai gejala dari malaise (keadaan lesu) yang mendasari lembaga politik Prancis dan bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Egalite, Liberte, dan Fraternite.
Surat terbuka yang tegas kepada pemimpin Prancis itu mengecam kriminalisasi Macron atas pekerjaan yang dilakukan untuk melawan Islamofobia. Langkah Macron itu dipandang akan menjadi preseden berbahaya karena bersikap tebang pilih atas kelompok-kelompok agama dan ras mana yang harus dilindungi, dan mana yang merendahkan harkat dan merampok kebebasan mereka.
"Kita semua di Eropa tahu betul konsekuensi menghebohkan dalam skala massal yang dapat ditimbulkan dari tindakan semacam itu yang menargetkan minoritas agama. Tangan persahabatan dari organisasi Eropa, terutama gerakan pemuda dan mahasiswa, telah lama diperluas. Ini akan menjadi layanan untuk Prancis dan prinsip-prinsipnya yang dijunjung tinggi, dan ke seluruh dunia, jika Anda menerimanya," demikian isi surat tersebut.
Dalam beberapa pekan terakhir, Macron telah menjadi pusat kontroversi lantaran menghidupkan kembali debat tentang kebebasan berekspresi, Islam, dan perlakuan Prancis terhadap kelompok minoritas Muslimnya. Macron juga membela penerbitan karikatur Nabi Muhammad, yang kemudian memicu reaksi dari umat Islam di seluruh dunia.
Selain itu, Macron juga dituduh melakukan persekusi terhadap Muslim di negara itu. Otoritas Prancis saat ini menindak LSM Muslim di bawah undang-undang separatisme baru, yang telah dikritik karena membatasi kebebasan sipil.
Masalah ekstremisme agama telah mengemuka ketika kasus pemenggalan guru di Prancis terjadi pada 16 Oktober 2020 lalu oleh seorang remaja ekstremis asal Chechnya. Dia dibunuh setelah mempertunjukkan karikatur Nabi Muhammad yang sebelumnya diterbitkan majalah satir Charlie Hebdo kepada murid-muridnya di kelas kebebasan berekspresi.
Namun sebelum serangan itu, Macron sebenarnya telah menjanjikan kampanye baru melawan 'Islamisme'. Hal itu lantas menuai kontroversi dan kecaman dari umat Islam di seluruh dunia. Protes meletus di sejumlah negara mayoritas Muslim, seperti Afghanistan, Pakistan, Bangladesh, Mali, Mauritania, dan Lebanon, dalam mengecam Prancis.