REPUBLIKA.CO.ID, oleh Sapto Andika Candra, Arif Satrio Nugroho, Nawir Arsyad Akbar
Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, akhirnya ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dalam naskah yang diunggah di laman resmi Sekretariat Negara, disebutkan bahwa Presiden Jokowi menandatangani dokumen UU Cipta Kerja pada 2 November 2020 dan secara resmi diundangkan pada tanggal yang sama.
Naskah UU Cipta Kerja yang terdiri dari 1.187 halaman ini bisa diakses diunduh publik melalui alamat jdih.setneg.go.id, pada bagian produk hukum terbaru. Di bawah tanda tangan Menkumham, juga dituliskan bahwa dokumen ini masuk dalam Lembaran Negara RI (LNRI) tahun 2020 nomor 245.
"Salinan sesuai dengan aslinya," bunyi keterangan dalam naskah tersebut.
Meski telah ditandatangani Presiden dan telah sah diundangkan, UU Cipta Kerja masih menyisakan kesalahan yang kemudian terungkap dan viral di media sosial. Kesalahan itu terletak pada Bab III tentang Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha Bagian Kesatu Umum.
Berdasarkan dokumen salinan UU Nomor 11 tahun 2020 yang diunduh dari laman jdih.setneg.go.id, Pasal 6 Bab III itu berbunyi:
"Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a meliputi....."
Bunyi pasal 6 tersebut merujuk pada Pasal 5 ayat (1) huruf a. Padahal, dalam dokumen UU nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja itu, dalam Pasal 5, tidak terdapat huruf a maupun ayat 1. Pasal 5 UU 11/2020 hanya berbunyi:
"Ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait." demikian bunyi pasal tersebut tanpa adanya angka dan huruf di bawahnya.
Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti menilai, adanya kesalahan baik akibat salah tik atau penyusunan pasal/bab, membuktikan proses pembentukkan UU Cipta Kerja sangatlah buruk. Kesalahan demi kesalahan ditemukan sejak UU Cipta Kerja disahkan di Rapat Paripurna DPR bahkan hingga ditandatangani oleh Presiden.
“Buruknya proses (pembentukan undang-undang), ugal-ugalan seperti ini. Seakan-akan mengkerdilkan proses pembuatan undang-undang, padahal undang-undang itu seperti kontrak sosial warga melalui wakil-wakilnya,” ujar Bivitri saat dihubungi, Selasa (3/11).
Menurutnya, jika ada masih adanya kesalahan redaksional dalam UU Cipta Kerja, membuat pasal tersebut tak berlaku. Perbaikan pun tak bisa kembali dilakukan, karena presiden juga telah menekennya menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.
“Dalam hukum, tidak boleh suatu pasal dijalankan sesuai dengan imajinasi penerapan pasal saja. Harus persis seperti yang tertulis,” ujar Bivitri.
Selain Pasal 6, Bivitri juga menemukan kesalahan lainnya, terdapat di Pasal 53 pada halaman 757. Pada ayat (5) yang berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Presiden".
Ia menjelaskan, ayat 5 Pasal 53 seharusnya merujuk pada ayat 4 bukan 3 seperti yang tertulis dalam naskah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
“Kalau pemerintah mau membuat ada kepastian hukum agar pasal-pasal itu bisa dilaksanakan, bisa keluarkan Perppu, karena undang-undang tidak bisa diubah begitu saja. Kalau cuma perjanjian bisa direvisi,” ujar Bivitri.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Arteria Dahlan mempertanyakan adanya kejanggalan dalam UU Cipta Kerja setelah UU itu diundangkan Presiden Jokowi. Ia mengeklaim, tidak ada kesalahan dalam naskah UU Cipta Kerja yang diperiksa Fraksi PDI Perjuangan di DPR dalam Tim Perumus (Timus) dan Tim Sinkronisasi (Timsin) yang kemudian diserahkan ke pemerintah.
Namun, setelah UU Cipta Kerja diterima Sekretariat Negara (Setneg), kesalahan justru bermunculan. Arteria bahkan mencurigai ada pihak-pihak yang ingin memperkeruh keadaan.
"Tapi setelah diutak-atik dan disempurnakan kembali ternyata kok kembali lagi ini. ini lagi saya tanyakan ke pihak pemerintah, saya katakan ini tidak boleh terjadi dan ada agenda apa ini yang semakin membuat keruh," ujar dia.
Arteria juga mengklaim bahwa draf yang diberikan pada Jokowi justru bukan draf final yang sudah bebas dari kesalahan. "Kok yang final diberikan ke pIresiden justru hasilnya yang tidak final apakah ini disengaja, kalau ini disengaja saya akan melakukan upaya serius terkait dengan seperti ini, kasihan Pak Jokowinya lah, Pak Jokowi dibebankan hal-hal yang tidak perlu dan penting," kata dia.
Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyebut sejumlah kesalahan yang ditemukan di dalam UU Cipta Kerja merupakan masalah teknis administratif. Sehingga, kesalahan teknis tersebut tak akan berpengaruh terhadap implementasi UU Cipta Kerja.
“Hari ini kita menemukan kekeliruan teknis penulisan dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Namun, kekeliruan tersebut bersifat teknis administratif sehingga tidak berpengaruh terhadap implementasi UU Cipta Kerja,” ujar Pratikno kepada wartawan, Selasa (3/11).
Ia menjelaskan, sebelumnya Kementerian Sekretariat Negara juga telah melakukan review dan menemukan sejumlah kekeliruan yang bersifat teknis setelah menerima berkas RUU Cipta Kerja dari DPR. Namun, kekeliruan tersebut telah disampaikan kepada Sekretariat Jenderal DPR untuk disepakati perbaikannya.
Kesalahan yang ditemukan kembali setelah UU Cipta Kerja ditandatangani Presiden Jokowi ini pun juga disebutnya merupakan kesalahan teknis penulisan. Ia berjanji, kekeliruan teknis ini akan menjadi catatan dan masukan bagi pemerintah untuk terus menyempurnakan kualitas RUU yang akan diundangkan.
“Kekeliruan teknis ini menjadi catatan dan masukan bagi kami untuk terus menyempurnakan kendali kualitas terhadap RUU yang hendak diundangkan agar kesalahan teknis seperti ini tidak terulang lagi,” kata Pratikno.